Raden. Mas Syahid atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga., adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban, ada pula yang mengatakan, bahwa nama lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sabur Tumenggung Wilatika, dikatakan dalam riwayat, bahwa dalam perkawinannya dengan Dewi Saroh Binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga juga memperoleh 3 orang putera, masing-masing : .R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Diantara para Wali Sembilan,
beliau terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, seorang pemimpin,
mubaligh, pujangga dan filosofi. daerah operasinya tidak terbatas, oleh karena
itu beliau adalah terhitung seorang mubaligh keliling (reizendle mubaligh).
jikalau beliau bertabligh, senantiasa diikuti oleh pada kaum ningrat dan
sarjana.
Kaum bangsawan dan cendekiawan
amat simpatik kepada beliau. karena caranya beliau menyiarkan agama islam yang
disesuaikan dengan aliran jaman, Sunan Kalijaga adalah adalah seorang wali yang
kritis, banyak toleransi dan pergaulannya dan berpandangan jauh serta
berperasaan dalam. Semasa hidupnya, sunan kalijaga terhitung seorang wali yang
ternama serta disegani beliau terkenal sebagai seorang pujangga yang
berinisiatif mengaran cerita-cerita wayang yang disesuaikan dengan ajaran Islam
dengan lain perkataan, dalam cerita-cerita wayang itu dimaksudkan sebanyak
mungkin unsur-unsur ke-Islam-an,. hal ini dilakukan karena pertimbangan bahwa
masyarakat di Jawa pada waktu itu masih tebal kepercayaannya terhadap Hinduisme
dan Buddhisme, atau tegasnya Syiwa Budha, ataupun dengan kata lain, masyarakat
masih memagang teguh tradisi-tradisi atau adat istiadat lama.
Diantaranya masih suka kepada
pertunjukan wayang, gemar kepada gamelan dan beberapa cabang kesenian lainnya,
sebab-sebab inilah yang mendorong Sunan Kalijaga sebagai salah seorang mubaligh
untuk memeras otak, mengatur siasat, yaitu menempuh jalan mengawinkan adat
istiadat lama dengan ajaran-ajaran Islam assimilasi kebudayaan, jalan dan cara
mana adalah berdasarkan atas kebijaksanaan para wali sembilan dalam
mengambangkan Agama Islam di sini.
Sunan Kalijaga, namanya hingga
kini masih tetap harum serta dikenang oleh seluruh lapisan masyrakat dari yang
atas sampai yang bawah. hal ini adalah merupakan suatu bukti, bahwa beliau itu
benar-benar manusia besar jiwanya, dan besar pula jasanya. sebagai pujangga,
telah banyak mengarang berbagai cerita yang mengandung filsafat serta berjiwa
agama, seni lukis yang bernafaskan Islam, seni suara yang berjiwakan tauhid.
disamping itu pula beliau berjasa pula bagi perkembangan dari kehidupan wayang
kulit yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga adalah pengarang
dari kitab-kitab cerita-cerita wayang yang dramatis serta diberi jiwa agama,
banyak cerita-cerita yang dibuatnya yang isinya menggambarkan ethik ke-Islam-an,
kesusilaan dalam hidup sepanjang tuntunan dan ajaran Islam , hanya diselipkan
ke dalam cerita kewayangan. oleh karena Sunan Kalijaga mengetahui, bahwa pada
waktu itu keadaan masyarakat menghendaki yang sedemikian, maka taktik
perjuangan beliaupun disesuaikannya pula dengan keadaan ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit
para pemeluk agama syiwa budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan
berbahaya sekali kiranya apabila dalam memperkembangkan agama islam selanjutnya
tidak dilakukan dengan cara yang bijaksana. para wali termasuk didalamnya Sunan
Kalijaga mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali
kepada kesenian dan kebudayaan mereka, diantaranya masih gemar kepada gemalan
dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Syiwa-Budha.
Maka setelah diadakan
permusyawaratan para wali, dapat diketemukan suatu cara yang lebih supel,
dengan maksud untuk meng-Islam-kan orang-orang yang belum masuk Islam. cara itu
diketemukan oleh Sunan Kalijaga, salah seorang yang terkenal berjiwa besar, dan
berpandangan jauh,berfikiran tajam, serta berasal dari suku jawa asli.
disamping itu beliau juga ahli seni dan faham pula akan gamelan serta
gending-gending (lagu-lagunya).
Maka dipesanlah oleh Sunan
Kalijaga kepada ahli gamelan untuk membuatkan serancak gamelan, yang kemudian
diberinya nama kyai sekati. hal itu adalah dimaksudkan untuk memperkembangkan
Agama Islam.
Menurut adat kebiasaan pada
setiap tahun, sesudan konperensi besar para wali, diserambi Masjid Demak
diadakan perayaan Maulid Nabi yang diramaikan dengan rebana (Bhs. Jawa
Terbangan) menurut irama seni arab. Hal ini oleh Sunan Kalijaga hendak
disempurnakan dengan pengertian disesuaikan dengan alam fikiran masyarakat
jawa. maka gamelan yang telah dipesan itupun ditempatkan diatas pagengan yaitu
sebuah tarub yang tempatnya di depan halaman Masjid Demak, dengan dihiasai
beraneka macam bungan-bungaan yang indah. gapura mashidpun dihiasinya pula,
sehingga banyaklah rakyat yang tertarik untuk berkunjung ke sana, gamelan itupun
kemudian dipukulinya betalu-talu dengan tiada henti-hentinya.
Kemudian dimuka gapura masjid,
tampillah ke depan podium bergantian para wali memberikan wejangan-wejangan
serta nasehat-nasehatnya uraian-uraiannya diberikan dengan gaya bahasa yang
sangat menarik sehingga orang yang mendengarkan hatinya tertaik untuk masuk ke
dalam masjid untuk mendekati gamelan yang sedang ditabuh, artinya dibunyikan
itu. dan mereka diperbolehkan masuk ke dalam masjid, akan tetapi terlebih
dahulu harus mengambil air wudlu di kolas masjid melalui pintu gapura. upacara
yang demikian ini mengandung simbolik, yang diartikan bahwa bagi barang siapa
yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian masuk ke dalam masjid
melalui gapura (dari Bahasa Arab Ghapura) maka berarti bahwa segala dosanya
sudah diampuni oleh Tuhan.
Sungguh besar jasa Sunan Kalijaga
terhadap kesenian, tidak hanya dalam lapangan seni suara saja, akan tetapi juga
meliputi seni drama (wayang kulit) seni gamelan, seni lukis, seni pakaian, seni
ukir, seni pahat. dan juga dalam lapangan kesusastraan, banyak corak batik oleh
sunan kalijaga (periode demak) diberi motif “burung” di dalam beraneka macam.
sebagai gambar ilustrasi, perwujudan burung itu memanglah sangat indahnya, akan
tetapi lebih indah lagi dia sebagai riwayat pendidikan dan pengajaran budi
pekerti. di dalam bahasa kawi, burung itu disebut “kukila” dan kata bahasa kawi
ini jika dalam bahasa arab adalah dari rangkaian kata : “quu” dan “qilla” atau
“quuqiila”, yang artinya “peliharalah ucapan (mulut)-mu.
Hal mana dimaksudkan bahwa kain
pakaian yang bermotif kukila atau burung itu senantiasa memperingatkan atau
mendidik dan mengajar kepada kita, agar selalu baik tutur katanya, inilah
diantaranya jasa sunan kalijaga dalam hal seni lukis. Dalam hubungan ini
dibuatnya model baju kaum pria yang diberinya nama baju “takwo”, nama tersebut
berasal berasal dari kata bahasa arab “taqwa” yang artinya ta’at serta berbakti
kepada Allah SWT.
Nama yang simbolik sifatnya ini,
dimaksudkan untuk mendidik kita agar supaya selalu cara hidup dan kehidupan
kita sesuai dengan tuntunan agama. Nama Kalijaga menurut setengah riwayat ,
dikatakan berasal dari rangkaian Bahasa Arab ‘ Qadli Zaka, Qadli – artinya
pelaksana, penghulu : sedangkan Zaka – artinya membersihkan. jadi Qodlizaka
atau yang kemudian menurut lidah dan ejaan kita sekarang berubah menjadi
Kalijaga itu artinya ialah pelaksana atau pemimpin yang menegakkan kebersihan
(kesucian) dan kebenaran agama Islam.
Konon kabarnya Sunan Kalijaga itu usianya termasuk
lanjut pula, sehingga dalam masa hidupnya, beliau antara lain mengalami tiga
kali masa pemerintahan, pertama jaman akhkh Siti Jenar sesungguhnya tak ada
disini, yang ada hanyalah Tuhan yang Sejati.
ujarnya pula :
ujarnya pula :
“Awit seh
lemang bang iku, wajahing pangeran jati. nadyan sira ngaturana, ing pangeran
kang sejati, lamun Syekh Lemah Bang ora, mansa kalakon yekti”
Artinya :
Oleh karena Syekh Siti Jenar itu sesungguhnya adalah
wajah wujudnya Tuhan sejati, meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang
sejati, manakala siti jenar tidak, maka tidaklah hal itu akan terlaksana. pada
waktu Maulana Maghribi memberi wejangan bahwa yang disebut Tuhan Allah Sejati
itu Wajibul Wujud (kang aran Allah jatine, wajibul wujud kang ana), maka Syekh
Siti Jenar pun menjawablah, katanya :
“Aja ana kakehan semu, iya ingsun iki Allah, nyata
ingsun kang sejati, jejuluk Prabu Satmata, tan ana liyan jatine, ingkang aran
bangsa Allah”
Artinya :
jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata:
“Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”
jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiadalah yang lain dengan nama Ketuhanan. Oleh karena segala ucapan-ucapan dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar ini dipandang sangat membahayakan kepada rakyat, maka akhirnya beliau pun dihukum mati oleh para wali. Jikalau kita ikuti segala ucapan-ucapan Siti Jenar tersebut di atas, maka hal itu mengingatkan kita kepada ajaran-ajaran dan ucapan-ucapan salah seorang misticus yang masyhur, yaitu Al Hallaj (858-992). sebagaimana diketahui, Al Hallaj pernah berkata:
“Annal haqq” artinya : “sayalah kebenaran yang sejati itu”
kemudian katanya pula :
“wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.
“wa’ma fi jubbati illa-lah” artinya “dan tidak ada yang dalam jubah , melainkan Allah”.
Disamping itu al hallaj juga pernah mengatakan :
“Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”
“Telah bercampur rohmu dalam rohku, laksana bercampurnya chamar dengan air jernih bila menyentuhi akanmu sesuatu, tersentuhlah aku, sebab itu engkau adalah aku”
Dalam segala hal demikianlah
pandangan hidupnya. ucapan dan ajarannya inilah yang mengakibatkan dia dihukum
mati di atas tiang gantungan, karena dianggap berbahaya dan menyesatkan oleh
pemerintah Bagdad. kedua ahli mistik, baik Al Hallaj maupun Syekh Siti Jenar
fahamnya condong kepada ajaran pantheisme, kesatuan antara makhluk dengan
khalik Maha Penciptanya. dan keduanya pun mengalami pula nasib yang sama,
karena mereka harus menebus keyakinan hidupnya dengan hukuman mati.
Kemudian kita dapati pula ucapan
Siti Jenar yang lain, yang tampak isinya lebih mengutamakan hakekat daripada
syari’at, katanya :
“Sahadat salat puwasa kawuri, apa
dene jakat lawan pitrah, ujar iku dora kabehm nora kena ginugu, Islam tetep
durjaning budi, ngapusi kyehning titah, sinung swarga besuke, wong bodo kanur
ulama, tur nyatane pada bae ora uning, beda syekh siti jenar.”
Selanjutnya berkatalah Syekh Siti Jenar :
“Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.
“Tan mituhu salat lawan dikir, jengkang-jengking neng masjid ting krembyah, nora nana ganjarane, yen wus ngapal batukmu, sejatine tanpa pinanggih, neng dunya bae pada susah amemikul, lara sangsaya tan beda, marma siti jenar mung madep wajidi, gusti dat roning kamal”.
Demikianlah antara lain pandangan
hidup serta ajaran-ajaran dari Syekh Siti Jenar. Dalam riwayat dikatakan bahwa
murid Syekh Siti Jenar adalah : Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran
Panggung, Ki Lontang.
Menengok konflik Masa Lalu
Biasanya, konflik yang terjadi di
kalangan ulama -terutama ulama jaman dahulu, lebih banyak diakibatkan karena
persoalan (rebutan pengaruh) politik. Tidak hanya terjadi pada era kiai-ulama
masa kini, tapi sejak jaman Wali Songo-pun, konflik seperti itu pernah terjadi.
Bahkan, sejarah Islam telah mencatat bahwa jenazah Muhammad Rasulullah SAW baru
dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, dikarenakan para sahabat justru sibuk
rebutan soal posisi khalifah pengganti Nabi (Tarikh Ibnu Ishak, ta’liq Muhammad
Hamidi). Di era Wali Songo -kelompok ulama yang “diklaim” oleh NU sebagai
nenek-moyangnya dalam perihal berdakwah dan ajarannya, sejarah telah mencatat
pula terjadinya konflik yang “fenomenal” antara Wali Songo (yang mementingkan
syari’at) dengan kelompok Syekh Siti Jenar (yang mengutamakan hakekat). Konflik
itu berakhir dengan fatwa hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dan pengikutnya.
Sejarah juga mencatat bahwa dalam persoalan politik, Wali Songo yang oleh
masyarakat dikenal sebagai kelompok ulama penyebar agama Islam di Nusantara
yang cukup solid dalam berdakwah itu, ternyata juga bisa terpolarisasi ke dalam
tiga kutub politik; Giri Kedaton (Sunan Giri, di Gresik), Sunan Kalijaga
(Adilangu, Demak) dan Sunan Kudus (Kudus). Kutub-kutub politik itu memiliki
pertimbangan dan alasan sendiri-sendiri yang berbeda, dan sangat sulit untuk
dicarikan titik temunya; dalam sidang para wali sekalipun. Terutama perseteruan
dari dua nama yang terakhir, itu sangat menarik. Karena pertikaian kedua wali
tersebut dengan begitu gamblangnya sempat tercatat dalam literatur sejarah
klasik Jawa, seperti: “Babad Demak”, “Babad Tanah Djawi”, “Serat Kandha”, dan
“Babad Meinsma”.
Lagi-lagi, konflik itu
diakibatkan karena persoalan politik. Perseteruan yang terjadi antara para wali
itu bisa terjadi, bermula setelah Sultan Trenggono (raja ke-2 Demak) wafat.
Giri Kedaton yang beraliran “Islam mutihan” (lebih mengutamakan tauhid)
mendukung Sunan Prawata dengan pertimbangan ke-’alimannya. Sementara Sunan
Kudus mendukung Aryo Penangsang karena dia merupakan pewaris sah (putra tertua)
dari Pangeran Sekar Seda Lepen (kakak Trenggono) yang telah dibunuh oleh
Prawata (anak Trenggono). Sedangkan Sunan Kalijaga (aliran tasawuf, abangan)
mendukung Joko Tingkir (Hadiwijaya), dengan pertimbangan ia akan mampu
memunculkan sebuah kerajaan kebangsaan nusantara yang akomodatif terhadap
budaya.
Sejarah juga mencatat, konflik
para wali itu “lebih seru” bila dibandingkan dengan konflik ulama sekarang,
karena pertikaian mereka sangat syarat dengan intrik politik yang kotor,
seperti menjurus pada pembunuhan terhadap lawan politik. Penyebabnya tidak
semata karena persoalan politik saja, tapi di sana juga ada hal-hal lain
seperti: pergesekan pengaruh ideologi, hegemoni aliran oleh para wali,
pengkhianatan murid terhadap guru, dendam guru terhadap murid, dan sebagainya.
Bahkan, De Graaf, seorang
sejarawan Jawa dari Belanda, dengan begitu beraninya menilai konflik di antara
para wali itu bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid belaka. Bukan
pula harus selalu dilihat dari segi spiritualnya, tapi sekolah agama dari para
wali itu bisa juga dilihat sebagai sebuah konsentrasi politik. Para wali yang
terlibat konflik itu sesungguhnya tidak membatasi diri pada ajaran spiritual
saja, tetapi juga memposisikan dirinya sebagai ahli politik sejati, yang
(terlalu) banyak ikut campur tangan terhadap persoalan negara. Seperti
misalnya, seseorang yang menjadi raja, berhak menyandang gelar “Sultan” bila
telah mendapatkan “restu” dari Giri Kedaton. Model pola hubungan ulama-umara
seperti ini yang kemudian menjadi benih-benih pertikaian di antara wali
sendiri.
Begitupun ketika pusat
pemerintahan pindah dari Pajang ke Mataram. Sunan Kudus “berbelok arah”
mendukung kubu Demak (Aria Pangiri, putra Sunan Prawata [kubu yang sebelumnya
dilenyapkan Arya Penangsang, jagoan Sunan Kudus]) untuk menguasai Pajang,
mengusir Pangeran Benawa (putra Sultan Hadiwijaya). Sementara Sunan Kalijaga
mendukung keturunan Pamanahan (Ki Gede Mataram) untuk mendirikan kerajaan baru
yang bernama Mataram.
Tidak hanya berhenti di situ.
Konflik politik para wali itu terus berlanjut hingga akhir hayat mereka. Hingga
anak cucu generasi mereka selanjutnya. Dan lebih memprihatinkan lagi, ketika
Sunan Amangkurat I (Raja Mataram ke-5, putra Sultan Agung Hanyokrokusumo)
membantai secara keji 6000 ulama ahlussunnah wal jama’ah di alun-alun Mataram,
dengan alasan “mengganggu keamanan negara”. Ini adalah sebagai bukti adanya
imbas yang berkepanjangan dari perseteruan ideologi para wali di era sebelumnya
-di samping juga karena faktor politik yang lain. Dan, gesekan-gesekan aliran
keagamaan (ideologi) seperti itu, di kemudian hari terus berlanjut, seolah-olah
telah menjadi sebuah “warisan” masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar