Oleh Adlan Mamnun : Sejarah Adat Paer Bayan di masa
lampau, memang belum ada bukti-bukti sejarah yang telah di akui secara
antropologi, meski demikian ada beberapa versi yang tertuang dalam bentuk
catatan-catatan peninggalan para pendahulu masyarakat bayan. Seperti Lontar, dalam bentuk
babad-babad, ataupun kitab-kitab kuno, salah satu kitab yang cukup di kenal
yaitu kitab yaitu kitab Kotara Gama yang di tulis oleh Empu Prapanca pada pupus
ke 14 pada masa kerajaan Majapahit.
Pengertian Masyarakat
Adat
Meski belum ada definisi yang di terima
secara menyeluruh tentang masyarakat adat, akan tetapi Jose Martinez Cobo (
Pelopor khsusus PBB ) yang melakukan
sebuah studi yang bersejarah pada tahun 1987 tentang “ Persoalan Diskriminasi
Terhadap Masyarakat Adat “ memberikan sebuah definisi kerja tentang masyarakat
adat, yang sekarang ini banyak di pergunakan sebagai bahan rujukan di berbagai
kalangan, terutama kalangan yang peduli tentang keberadaan masyarakat adat dan
perjuangan hak-hak asasinya, definisi tersebut menyangkut tiga unsur utama,
yaitu Pertama kesinambungan
sejarah sejak masa sebelum penaklukan dan sebelum terbentuknya masyarakat
Pra-Kolonial, Kedua Identifikasi diri sebagai masyarakat adat, dan yang Ketiga
keanggotaan masyarakat adat sebagai komunitas ( Kelompok ).
Kesinambungan sejarah yang di maksud
dengan istilah ini adalah kesinambungan yang membentang dalam sebuah rentang
waktu panjang sampai dengan saat ini, yang meliputi sejumlah factor berikut
seperti : Kesinambungan dalam mendiami tanah leluhurnya atau sekurang-kurangnya
sebagaian daripada tanah tersebut,
kesamaan leluhur dengan kelompok orang pertama yang mendiami tanah tersebut,
Kesinambungan budaya secara umum atau dalam perwujudan-perwujudan budaya yang
khusus, Kesinambungan bahasa, menempati bagaian tertentu dari sebuah negeri
atau bagian tertentu dari dunia ini dan faktor lain yang berkaitan, identitas
diri dan keanggotaan komunitas atau kelompok, pada tataran perorangan yang di
sebut sebagai seorang anggota masyarakat adat yaitu seseorang yang
mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat adat ( kesadaran Kelompok ) dan di
akui serta di terima oleh kelompoknya, hal ini menjaga kedaulatan komunitas
masyarakat adat untuk menentukan siapa yang menjadi anggota mereka, tanpa ada
campur tangan pihak luar.
Berangkat dari pemahaman tersebut diatas
bahwa masyarakat adat paer bayan telah ada sebelum negara ini terbentuk, bahkan
sejak zaman kerajaan, masyarakat adat paer bayan juga memiliki perangkat
lembaga kepemerintahan, wilayah administratif, pranata adat dan tentunya
komunitas persekutuan masyarakat sebagamana layaknya sebuah negara, betapapun
kecil dan sederhana sistem pemerintahan masyarakat adat paer bayan sekarang
ini, tetapi mereka mengatur sendiri aspek sosial, politik, ekonomi dan budayanya,
namun permasalahannya adalah selama ini kebanyakan kalangan memahami masyarakat
adat hanya sebatas urusan budaya saja, seperti perkawinan, kesenian dan upacara
rirual adat, padahal keberdayaan masyarakat adat juga menyangkut tentang
otoritas sosial, ekonomi, politik dan budayanya.
Wujud dari otoritas itu tercermin pada
adanya perangkat lembaga adat, wilayah hukum adat, pranata adat dan komunitas
masyarakat adat, dengan demikian, membicarakan pengertian masyarakat adat bukan
saja pada budaya tetapi juga pada hak otoritasnya, jadi dalam keterbatasan
memahami masyarakat adat bukan saja di alami oleh masyarakat awam, namun juga
sampai para pembuat kebijakan, misalnya persoalan hak penguasaan masyarakat
adat atas pengelolaa sumberdaya alamnya, hal ini berangkat dari distrorsi
pemahaman masyarakat dan para pembuat kebijakan terhadap keberadaan masyarakat
adat tersebut.
Masyarakat adat di Pulau Lombok yang di
kenal dengan suku Sasak, namun di pulau ini juga terdapat berbagai macam bentuk
adat dan budaya, sehingga melahirkan sebutan sebagai pembeda atau untuk
membedakan ciri khas dari keberagamannya, misalnya dari segi bahasa dan sistem
perkawianannya, identiknya dengan sebutan Wilayah atau Paer seperti Paer Timuq
( Wilayah Timur ), Paer Lauq (Wilayah Utara), Paer Baret ( Paer Barat ) dan
Paer Daye ( Wilayah Selatan ), pembagian sebutan tersebut semasa kejaayaan
kerajaan Seleparang, Pejanggik dan Bayan di masa lampau, hal ini di sebabkan
oleh faktor geografis pulau lombok yang di tengah-tengahnya terdapat Gunung
Rinjani, yang di diami oleh masyarakat lombok di setiap kawasan pinggir hutan,
salah satunya adalah masyarakat adat Bayan yang berada di wilayah utara
gunung rinjani ( Paer Daye ) atau
masyarakat adat Dayan Gunung.
Masyarakat adat Bayan di kenal dengan berbagai
sebutan seperti Masyarakat Paer Daye ( Orang Dayan Gunung ), Masyarakat asli
Bayan, Komunitas Adat, dan Orang Gunung, karena masyarakat adat tersebut
kebanyakan berdiam, hidup dan berkembang di pedesaan pinggir kawasan hutan,
masyarakat adat bayan bahkan telah berdabad-abad mereka menunjukkan
kemampuannya untuk menjaga keberlanjutan
komunitas melalui sistem tradisionalnya, sehingga cara hidup yang
demikian itu masih di pandang oleh banyak orang sebagai Orang Primitif, Orang Terbelakang, Orang Kuno,
Orang Kolot namun tidak sedikit orang melakukan diskriminasi terhadap
masyarakat adat bayan, walau hanya dalam bentuk sekedar ungkapan saja seperti
Orang Waktu Telu, Orang Gawah ( Orang Terisolasi ), dan lain sebaginya.
Sementara
banyak orang yang menyakini bahwa modernisasi dan globalisasi akan melahirkan
sebuah transformasi pembangunan di segala bidang, hal ini juga di pandang
sebagai salah satu cara bagi masyarakat untuk dapat memperbaiki situasi mereka,
namun sebaliknya bagi masyarakat adat istilah pembangunan yang tidak berbasis
lingkungan dan kearifan lokal mempunyai arti buruk dalam pandangan masyarakat
adat, hal ini di sebabkan adanya pengalaman-pengalaman traumatis akibat
pelaksanaan pemerataan pembangunan di segala bidang, namun masyarakat adat
sendiri menyebutnya sebagai serangan pembangunan atau dengan kata lain Agresi
Pembangunan, yang semestinya bagi mereka bahwa pembangunan akan dapat
merekatkan ( Agregatif ) berbagai komunitas dan memperhatikan keseimbangan
lingkungan, namun kenyataanya pembangunan menyerang dan menggusur sistem dan
praktik-praktik kehidupan masyarakat adat, asumsi dasarnya bahwa cara hidup
yang di tempuh oleh masyarakat dominan adalah paling benar menurut fitrah
manusia bila di bandingkan dengan cara-cara masyarakat adat, jelas hal ini
mencerminkan konflik yang menandai hubungan antara masyarakat adat dengan
struktur-struktur ekonomi, politik dan social masyarakat dominan.
Serangan
pembangunan yang di maksud adalah manakala masyarakat adat menjadi korban dan
bukan sebagai penikmat hasil, ketika masyarakat adat di paksa berada di luar
perencanaan pembangunan dan bukan menjadi mitra, tapi ketika masyarakat adat di
pandang sebagai sumberdaya bagi pembangunan yang berkiblatkan kepada perolehan
keuntungan semata dan bukan menjadi pusat perhatian dari pembangunan itu
sendiri, serangan pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum, kegiatan
pelanggaran Hak Asasi Manusia ( HAM ) dalam seluruh dimensi hidup merekapun
juga terjadi, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik ( Aliansi Pembela HAM
Philipina atau The Philippine Alliance Of Human Rights Advocates, 1996 ).
Pengertian
Paer
Bagi masyarakat adat bayan pengertian dari Paer berarti “ Wilayah “,
yang pada dasarnya Paer merupakan wilayah yang di huni, di kuasai, atau di miliki
oleh suatu komunitas masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah tertentu,
seperti wilayah Gubuq ( Pedesaan ), Dasan ( Pedusunan ), Repok (
Perkampungan Kecil yang terdiri berapa kepala kelurga dan Banjar ), kalau di artikan dengan
kondisi sekarang seperti Banjar, Dusun, Desa dan lain-lainya. Paer juga
merupakan areal tempat berusaha atau mencari mata pencaharian hidup, serta
batas wilayah yang merupakan suatu simbol integritas eksistensi kelompok yang
layak untuk di pertahankan dari gangguan pihak luar, dengan demikian dapat di
pandang secara konseptual bahwa Paer mengandung makna ekonomi, politik, hukum
dan budaya, yang di implementasikan dalam pelaksanaan pemerintahan dan adatnya,
kemudian menentukan batas-batas wilayahnya baik kerja, wewenang, fungsi, hak
dan tanggung jawabnya yang di sebut dengan “ Wet “ ( Batas ) tentunya dengan
kesepakatan-kesepakatan lokal melalui proses gundem, selanjutnya dari beberapa
wilayah-wilayah kecil tersebut tergabung pada satu wilayah Paer Bayan,
sedangkan kekuasaan dalam bentuk pemerintahan yang berdasarkan persamaan latar
belakang, adat-istiadat ( Kebiasaan ), sosial budayanya yang hidup dan
berkembang pada suatu wilayah tertentu, sehingga di wilayah bayan di sebut
dengan “ Adat Paer Bayan “ karena di wilayah bayanlah tempat pusat
pemerintahannya yaitu di bayan Bleq.
Selanjutnya kata Bayan berasal dari bahasa Arab ” Al-Bayan ” yang artinya petunjuk atau penerang,
kemungkinan besar juga di ambil dari bahasa Kawi yaitu “ Bayan ”,
yang di ambil dari nama seekor Burung Bayan, nama ini sangat
terkait dengan hadirnya agama Islam di Bayan yang di bawa oleh para penyebar
Islam dari tanah Jawa, sedangkan sebutan dan tulisan kata “ Bayan ”
terpampang jelas berupa gambar “ Burung Bayan ”, pada lembaran
papan depan mimbar di setiap Masjid Kuno ( Masjid Tua ) dan terpampang pula di
atas setiap puncak atap masjid-masjid kuno yang masih ada di wilayah adat
bayan, sehingga Lambang Burung Bayan menandakan sebuah masjid yang berarti
bahwa Masjid adalah tempat orang sujud untuk mendapatkan petunjuk atau
penerangan agama ( Islam ) dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sekarang kata
Bayan menunjukkan pada sebuah nama wilayah “ Desa “ yaitu Desa
Bayan dan juga menjadi sebuah nama wilayah “ Kecamatan “, yakni Kecamatan Bayan, walaupun
pusat kota kecamatannya berada di Desa Anyar.
Sejarah
Sejarah Adat Paer Bayan di masa
lampau, memang belum ada bukti-bukti sejarah yang telah di akui secara
antropologi, meski demikian ada beberapa versi yang tertuang dalam bentuk
catatan-catatan peninggalan para pendahulu masyarakat bayan. Seperti Lontar, dalam bentuk
babad-babad, ataupun kitab-kitab kuno, salah satu kitab yang cukup di kenal
yaitu kitab yaitu kitab Kotara Gama yang di tulis oleh Empu Prapanca pada pupus
ke 14 pada masa kerajaan Majapahit.
yang menceritakan berbagai sistim
sosial dan sistim pemerintahan pada masa lampau, selain versi dari kitab Kotara
Gama ada beberapa versi seperti Babad kitab Suwung dan Babad Lombok, pada babad
Suwung sendiri lebih banyak menceritakan tentang sejarah asal usul masyarakat
Asli Lombok, sedangkan pada Babad Lombok menceritakan tentang asal usul
masyarakat lombok pada versi yang berbeda, ada juga beberapa sumber yang
berkembang di kalangan masyarakat Sasak ( Baca : Lombok ), khususnya tentang
Babad Bayan yang memiliki korelasi dengan kitab Tapal Adam, ini cenderung
menceritakan pada pendekatan tentang kejadian manusia berdasarkan keyakinan
yang selama ini di akui kebenarannya dalam masyarakat Islam di bayan, namun itu
lebih pada tingkat penafsiran dari masyarakat bayan bahwa para wali songo dan
para pedagang dari timur tengah yang menyebarkan agama islam di wlayah bayan,
hal ini di buktikan dan di tandai dengan adanya pelabuhan Labuan Carik di desa
Anyar dan Pelabuhan Lokok Uringin di Barung Birak Desa Sambik Elen, yang di
jadikan sebagai tempat persinggahan para wali songo dan para pedagang timur
tengah yang mengemban misi penyebarluasan Islam di pulau Lombok tersebut.
Dalam versi yang berbeda di yakini perkembangan masyarakat
bayan sudah berkembang pesat dan maju sejak 3000 tahun yang silam, jika di
lakukan analisis kesejaharahan dalam kurun waktu tersebut sebenarnya
perkembangan masyarakat bayan sama tuanya dengan perkembangan sejarah kerajaan
Sriwijaya sekitar abad ke 12, itu artinya kehidupan masyarakat bayan boleh di
bilang sama tuanya dengan kehidupan pada masa kerajaan Sriwijaya di wilayah
Sumatera, di perkirakan pada masa itu pula, tata cara kehidupan memang belum
terorganisir secara baik dan masyarakat masih lebih menggantungkan hidupnya
pada kekuatan alam, mereka memiliki keyakinan kekuatan alam menjadi
satu-satunya tempat menggantungkan kehidupannya ( Baca : Animisme ).
Bukti-bukti lain yang bisa di jadikan dasar adalah
cerita-cerita rakyat dari para orang tua, baik tentang Sigar Penjalin, Tameng
Muter, Temelaq Mangan dan cerita-cerita rakyat lainnya, cerita tersebut di
ceritakan dan berkembang secara turun temurun, kesemua cerita ini berkisah
tentang hubungan masyarakat Lombok dengan kerajaan Sriwijaya, Kerajaan
Majapahit dan kerajaan Karang Asem Bali, pada masa lampau masyarakat bayan
masih menganut kepercayaan Animisme hingga kepercayaan agama Hindu dan Budha,
sementara kemunculan Islam di Lombok yang di ungkapkan oleh Raden Asjanom (
Tokoh Adat Bayan ) bahwa pengaruh masuknya Islam pertama kalinya melalui Bayan
sebagai pintu masuknya Agama Islam yang di bawa oleh seorang Wali Songo dari
Jawa yaitu Sunan Perapen pada akhir abad ke 14, sehingga masyarakat Paer Adat
Bayan memiliki Palsafah hidup atau
pandangan hidup “ Pilosofi Adat Paer Bayan “ yaitu tentang asal usul kejadian
kehidupan di muka bumi ini, yang dalam keyakinannya bahwa siklus kehidupan
manusia melalui 3 ( Tiga ) tahapan yaitu : 1) Lahir ( Metu atau Araq ), 2). Hidup ( Idup ), dan
3). Mati ( Mate ), jadi asal
kelahiran dan keberadaan mahluk ciptaan Tuhan di dunia ini melalui tiga pula
asal-muasalnya yaitu : Tumbuh (
Meniok ), Bertelur ( Menelok ) dan Melahirkan ( Menganak ), arti asal mula tumbuh berupa tumbuh-tumbuhan, bertelur
berupa binatang dan burung serta melahirkan berupa manusia dan binatang
menyusui, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan adat paer bayan pandangan
hidup atau palsafah hidup masyarakat adat bayan menjadikannya sebagai petunjuk
bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa tunduk dan taat pada 3 (
tiga ) unsur hukum yaitu : Hukum
Pemerintahan, Hukum Adat dan Hukum Agama
1.
Hukum Pemerintahan atau aturan pemerintahan di laksanakan
oleh Pemekel atau Mekel ( Pemegang
Pemerintahan ).
2.
Hukum Adat atau aturan adat yang pelaksanaannya di lakukan
oleh para Toaq Lokaq atau Penganggo adat ( Pemegang Adat ).
3.
Hukum Agama atau aturan agama yang pelaksanaan syariatnya
oleh Kyai Penghulu ( Pemegang Agama ).
Merujuk pada pelaksanaan pandangan hidup masyarakat adat bayan yang
taat dan tunduk pada 3 ( Tiga ) hukum tersebut terjadi adanya pembagiaan
kekuasaan untuk menjalankan roda kelembagaan pemerintahan adat, yang memiliki
kekuasan tertinggi dalam Musyawarah Besar Adat ( Gundem Bleq ), yang terdiri
dari para Toaq Lokaq adat ( Tokoh ).
Dalam jabatan pemerintahan adat Paer Bayan yang di pegang atau di
pangku oleh seseorang di sebut dengan Pemangku Pemerintahan Adat Paer Bayan,
sehingga para pemegang pemerintahan adat paer bayan baik yang berfungsi
struktural ( Fungsional ) maupun berfungsi khusus 9 Fungsi Spsialis ), maka
apabila dari kalangan masyarakat Bangsawan dalam jawatan pemegang adat pada
wilayah tertentu atau paer maka di panggil Raden atau Den ( Mamiq ), sedangkan
apabila dari kalangan masyarakat biasa atau jajar karang dalam jawatan pemegang
adat pada wilayah tertentu atau paer maka di panggil Amaq atau Maq ( Maq Lokaq
), sedangkan dalam pemerintahan adat yang mencakup keseluruhan wilayah kekuasan
pemerintahan Adat Bayan di sebut dengan “Adat
Paer Bayan “, yang di pimpin atau di pangku oleh seorang Raja yaitu
Susngsungan Agung Kerajaan Bayan yang berpusat di Bayan Timur ( Bayan Timuq
Orong ), dari keturunan raja inilah sehingga sampai sekarang di sebut dengan
Mangku atau Den Mangku.
Pemerintahan Adat Paer Bayan secara
struktural memiliki Pemangku Adat atau Mangku yang di sebut dengan “ Pemekel
Bleq “ ( Den Mangku ) yaitu sebagai pemegang peranan tertinggi dalam
pemerintahan adat paer bayan ( Top Laider ), kemudian Pemekel Bleq tersebut
memiliki Empat Pemekel-an, terdiri dari Pemekel Bayan Timur, Pemekel Loloan,
Pemekel Bayan Barat dan Pemekel Karang Bajo, kemudian pemekel-pemekel tersebut
memiliki kewenangan dan wilayah kekuasan tertentu, sehingga keberadaan
keseluruhan kepemekelan dalam pemerintahan adat paer bayan di sebut dengan “
Pemekel Adat Bayan Bleq “, jadi kepemekelan tersebut yang menjalankan tugas,
fungsi dan wewenang pemerintahan ( Hukum Pemerintahan) di paer bayan,
selanjutnya di bawah pemekel adat bayan bleq terdapat Penganggo adat ( Toaq
Lokaq ) yaitu orang yang di tua-kan sebagai pemegang dan Pemeran adat bayan
secara fungsional maupun fungsi spesialisasi secara keseluruhan pemegang dan
pemeran adat ( Pemomong ), inilah yang menjalankan kegiatan pelaksanaan Adat (
Hukum Adat ) paer bayan, akan tetapi baik kedudukan pemekel maupun penganggo
adat ( Toaq Lokaq ) tersebut mempunyai kewajiban hanya melaksanakan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masalah Ke-dunia-an saja.
Sedangkan kegiatan pelaksanaan
adat bayan yang bersifat Ke-agama-an di pegang dan di jalankan oleh Keyai, kedudukan
keyai tersebut tidak termasuk dalam struktural pemerintahan adat bayan tetapi
kedukukan keyai terpisah, karena hal ini terjadi di sebabkan oleh seiring
dengan masuknya agama islam di bayan, maka jabatan adat juga di isi dengan
jabatan yang mengurusi masalah keagamaan dalam hal ini adalah keyai, sedangkan
fuingsi dan tugasnya hanya mengurus bidang-bidang agama yang berhubungan dengan
Akhirat, jadi lebih cenderung fungsinya keyai mengurus agama ( Gama ) dan tidak
mengurus masalah keduniaan seperti pemerintahan dan hukum adat, namun tetapi
dalam jabatannya sebagai keyai yang mengurisi kegiataan keagamaan selalu di
fungsikan pada setiap pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan adat, karena keyai
di anggap orang-orang yang suci yang mampu memberikan pencerehan moral dan
kesejukan bathin bagi masyarakat adat paer bayan dengan prinsif pendekatan pada
sang pencipta alam yaitu Tuhan Yang Maha Esa, keberdaan keyai tersebut dalam
kehidupan dan pelaksanaan pemerintahan paer adat bayan tidak dapat di pungkiri,
karena hal ini sebagai salah satu bentuk bukti terjadinya dinamika sejarah
dalam tataran perubahan dan perkembangan pemerintahan adat paer bayan di masa
kerajaan dulu, sehingga pelaksanaan pemerintahan adat Paer bayan di sebut juga
bentuk pemerintahan Adat dan Agama ( Adat Gama ).
Keyai Paer Bayan terdiri dari “
Keyai Keagungan “ dan “ Keyai Santri “, keyai
keagungan yang terdiri dari empat keyai di antaranya adalah Keyai Pengulu,
Keyai Lebe, Keyai Ketib dan Keyai Modin, sedangkan keberadaan Keyai Santri
sebagai pengikut ( Penyangkol ) dari empat keyai keagungan tersebut, peruntukan
keyai santri sebagai pengikut atau penyangkol boleh lebih tetapi tidak boleh
kurang, dengan proporsi sebagai berikut : Keyai Pengulu 20 orang keyai
santrinya, Keyai Lebe 10 orang santrinya dan Keyai Ketib 6 orang, khusus untuk
Keyai Mudin tidak memiliki Keyai santri, fungsi dan perannya masing-masing
keyai dalam pelaksanaan kegiatan adat yang menyangkut keagama-an seperti, Kayai
Penghulu mengurus Perkawinan dan Penceraian, Kayai Lebe tugasnya berda’wah atau
bersyi’ar islam, Keyai Ketib tugasnya menjadi khatib pada sholat jum’at dan
lebaran kemudian Keyai Mudin tugasnya memimpin dan membawa Do’a.
Keempat Keyai Paer Bayan yang di sebut sebagai keyai keagungan
karena pengankatannya melalui proses demokrastis- aristokratis yaitu
pengangkatannya berdasarkan keturunan praktisi agama, baik yang turunan Wali ( Patrilineal ) dari pihak
laki-laki ataupun turun Bibit (
Matrilineal atau keturunan Garis Prempuan ( Maq Lokaq Toaq Turun ), sedangkan pencalonan keyai tersebut di
laksanakan selama empat hari empat malam dengan melakukan pesemedian / atau
bertafa’kur di persinggahan Keyai Lebe Atassalam, yang rute
penyebaran dakwahnya yang di mulai dari wilayah ujung timur sampai bayan,
mengikuti rute wilayah da’wah yang pernah di lakukan oleh keyai lebe tersebut
seperti di Kampu Nangka Rempek, Kampu Lokok Getaq, Kampu Barung Birak dan Kampu
Loloan, kampu-kampu termasuk Kampu Beleq ( Kagungan ), sementara Pelantikan
atau peresmian ke empat keyai keagungan ini di laksanakan dalam prosesi acara
Begundem Bleq ( Musyawarah Besar ), bertempat di Kampu Bayan Timur ( Berugaq
Agung ), acara pelantikan dan peresmian keyai tersebut dalam Gundem di pimpin
oleh Pemangku Bayan Timur sebagai
pemangku tertinggi, yang di hadiri oleh semua Toaq Lokaq atau pemuka pemegang
adat, setelah para keyai melakukan Penguapan Janji Adat ( Ubaya Adat ), serta
di pasangkan pakain berwarna dan selengkapnya ( Sapuk ) sebagai symbol
seragam ritual dalam jabatannya sebagai
keyai yang di anggap suci, selanjutnya di persilahkan tinggal di rumah dinas di
Kampu Kagungan dengan perlengkapan hidupnya yang di peroleh dari kampu-kampu
tempat persemedian masing-masing.
Dengan keberadaan kelembagaan adat Paer Bayan tersebut, maka dalam menjalankan
roda kelembagaannya oleh para tokoh-tokoh adat yang di percaya oleh masyarakat
untuk mengurusi dan memimpinnya, yang selanjutnya di anggap sebagai Datu (
Pemerintah ) untuk mengurus segala bentuk aktifitas keberlansungan kehidupan
komunitas dengan menerapkan pola pemerintahan adat yang tentunya meliliki
rakyat, hukum, wilayah dalan lain sebagainya, untuk tujuan kesejahteraan
bersama.
Korelasi dari keberadaan kelembagaan adat tersebut dalam kaitannya
dengan sistim pengelolaan hutan atas perwujudan wilayah yang di milikinya
meliputi lahan, laut, dan hutan serta yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh
lembaga adat dan di ikat oleh aturan-aturan lokal ( Awiq-Awiq ) yang di
peruntukkan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat masyarakat komunitas adat, sistem
pengelolaan sumberdaya yanag ada baik sistem pengelolaan Lahan ( Sawah dan
Ladang ), Laut ( Pantai ), Air ( Irigasi ) dan Hutan di kelola dengan kearifan
lokal ( Adat ) yang pengelolaannya seperti layaknya sistem sebuah bentuk
negara. Kemudian sistem ini di pertahankan, di lestarikan dan di budayakan oleh
masyarakat adat bayan secara turun menurun sampai saat ini, sehingga khsusnya
pada sistem pengelolaan hutan bagi masyarakat adat bayan merupakan sebuah
warisan sejarah dari keberadaan Pemerintah Adat Paer Bayan di masa lampau.
Wilayah Kerja Pemekel
Komunitas
masyarakat adat Paer Bayan ini merupakan salah satu suku Sasak yang bermukim di
wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat,
komunitas masyarakat adat bayan sudah sejak lama di kenal sebagai salah satu
bentuk sistem pemerintahan wilayah adat di masa lampau yang masih di kenal
hingga sekarang oleh masyarakat lombok
yang kental dengan nuansa adatnya, yang memiliki wilayah adat ( Paer ), pemerintahan adat, masyarakat adat (
Komunitas ), hukum adat, pemanfaatan hasil hutan dan lain sebagainya, yang di
atur dan di kelola melalui kelembagaan masyarakat adat dalam bentuk
pemerintahan adat paer bayan, baik batas wilayah, wewenang, fungsi, tugas,
tanggungjawab dan hak bagi pemegang peran pemerintahan adat paer bayan dalam
struktur kepengurusan kelembagaannya baik pemekel maupun penganggo adat ( Toaq
Lokaq ), dapat di lihat sebagai berikut :
- Pemekel Bayan Timur ( Bayan Timuq Orong ) meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq Sembagek, Lokaq Ruaq Bangket atau Telaga Montong, Lokaq Bual Lokaq Santinggi Daya, Demung Akar-Akar dan lain-lain.Pemekel Loloan meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq Lokoq Getak, Demung Barung Birak, Lokaq Mandalika Barung birak, Demung Obole-Obel, Lokaq Dasan Biloq, Lokaq Torean dan lain-lain.Pemekel Bayan Barat ( Bayan Barat Orong ), meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq Senaru, Nangka Rempek, Semokan, Batu Gembung, Demung Telaga Bagek, Demung Labang Kara, Demung Sesaid, Lokaq Pelawangan dan lain-lain.Pemekel Karang Bajo meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : LokaqGantungan Rombong, Lokaq Golok, Walin Gumi, Lokaq Pande, Penyunat Gumi, Prumbak Lauq ( Montong Gedeng ), Lokaq Loang Godek, Perumbaq daya ( Bangket Bayan ) dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar