Hampir-hampir sudah
standard dalam buku-buku tasawuf adanya kutipan hadis masyhur mengenai ihsân.
Yakni, bahwa “ihsân adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya; atau, kalau engkau tak dapat melihatnya, percaya bahwa Dia
melihatmu.” Hal ini dikarenakan umumnya sufi mengidentikkan tasawuf dengan
ihsân. Artinya, tasawuf pada intinya adalah beribadah kepada Allah. Hanya
saja, dalam tasawuf, ditekankan agar ibadah hendaknya tidak semata-mata
gerakan-gerakan fisik yang kosong, melainkan penuh khusyû‘ dan khudhû‘. Yakni
menghadirkan hati dan penuh kerendahan di hadapan Allah Swt.
Kutipan standard
lain dalam buku-buku tasawuf adalah hadis tentang hamba-hamba Allah yang
mendekatkan diri secara terus-menerus dengan melakukan ibadah nawâfil (sunnah).
Sedemikian, sehingga Allah mencintainya dan dia menjadi Matanya untuk melihat,
Telinganya untuk mendengar, Kakinya untuk berjalan, dan seterusnya. Lagi-lagi
di sini ibadah dipahami sebagai inti tasawuf.
Adalah kaum sufi juga
yang menekankan shalat, misalnya, sebagai mi‘râj-nya kaum Mukmin. Bahwa shalatlah
yang bisa membawa seseorang bertemu dengan Allah Swt. Demikian pula halnya
dengan puasa, haji, zakat bersedekah, dan sebagainya. Sudah merupakan suatu
kelaziman bahwa para sufi secara khusus membahas kegiatan-kegiatan ibadah
(mahdhah atau ritual) dalam buku-buku mereka. Dan itu tak terbatas pada para
sufi “ortodoks” seperti Imam Ghazali, melainkan juga dalam karya-karya Ibn
‘Arabî, Sayyid Haidar ‘Amuli, dan sebagainya. Bagi kaum sufi syariat adalah
landasan tasawuf (tharîqah), sedang tharîqah adalah jalan menuju hakikat
(haqîqah atau kebenaran sejati).
Al-Qusyairi, penulis
kitab tasawuf terkenal, Risâlah Qusyairiyyah, misalnya, menyatakan bahwa tanpa
syariat tak akan seseorang berhasil meraih hakikat. Bahkan, menurutnya,
hakikat identik dengan syariat, dan sebaliknya. Al-Kalabadzi, penulis buku sufi
terkenal lainnya, Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf (Pemahaman atas
Mazhab Kaum Sufi), menyatakan bahwa kewajiban menjalankan perintah-perintah
syariat mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat
tertinggi. Tak ada satu maqâm (tataran) pun yang membuat orang yang telah
meraihnya bebas dari kewajiban syariat. Justru sebaliknya, makin tinggi
maqâm seseorang dalam tasawuf, seharusnya makin keraslah kesetiaannya terhadap
ajaran-ajaran syariat. Al-Hujwiri, penulis Kasyf Al-Mahjûb (Penyingkap yang
Terselubung) menisbahkan kemunafikan kepada orang-orang yang mengaku sufi,
tapi tak menjalankan perintah-perintah syariat.
Ibn ‘Arabî, seorang
tokoh besar sufi, yang pikiran-pikirannya seringkali disalahpahami orang sehingga
dituduh sebagai kafir itu, mendefinisikan tasawuf sebagai “mengikatkan diri
kepada perilaku-perilaku terpuji menurut syariat, secara lahir dan batin.”
Syaikh Akbar ini bahkan mengalokasikan tak kurang dari 1700 halaman dari
Futuhat al-Makkiyah untuk membahas aspek fiqh-betapapun pada puncaknya dilihat dari
perspektif makna-batinnya-dengan sistematika buku-buku fiqh standar. Bagi Ibn
‘Arabi, istilah “syari’ah” memiliki dua makna. Makna umum dan teknis. Dalam
makna umumnya, syari’ah identik dengan “jalan raya” (makna harfiah kata
“syari’ah), yakni agama yang diwahyukan sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an
(dan hadis). Di dalamnya terkandung semua aspek agama dan ilmu-ilmu keagamaan,
bukan hanya fiqh, yakni kodifikasi hukum Islam, yang merupakan makna-teknis
istilah ini. Dalam konteks ini, syari’ah identik dengan haqiqah.
Bagi sebagian orang
syari’ah hanya berurusan dengan dunia inderawi, yang hanya mencerminkan
multisiplisitas dunia empiris itu. Tidak demikian bagi Ibn ‘Arabi. Ia menolak
pembedaan antara syari’at dan hakikat. Memang benar bahwa syari’at adalah dimensi
lahir dari hakikat, yang merupakan dimensi batinnya. Tapi, justru sifat lahir
syari’at itu memungkinkan kontras dan kontradiksi dunia inderawi, yang
semata-mata merupakan cermin dari hakikat itu sendiri.
Pada kenyataannya, “
… tak ada hakikat yang bertentangan dengan syari’at.” Sejalan dengan itu, Ibn
Arabi sama sekali menolak jika ada yang berpendapat bahwa para pejalan
spiritual tak lagi butuh untuk menaati ajaran syari’ah. Sebaliknya, hanya
melalui syari’ahlah sorang sufi dan meraih tujuannya untuk bersatu-kembali
dengan Allah. Hanya mereka yang tak cukup ilmu dan pemahamannya sajalah yang
berpendapat bahwa syari’ah tak perlu bagi orang-orang yang telah mencapai maqam
spiritual yang tinggi. Demikian pula, begitu kerasnya Ibn ‘Arabi dalam
menempatkan sentralnya syari’ah dalam tasawuf sehingga ia mengajarkan agar para
penuntut ilmu tasawuf hanya belajar dan mendengarkan nasihat guru sufi yang
melaksanakan dan patuh pada syari’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar