Senin, 07 Januari 2013

Syariat Menurut Ibnu Arabi



Hampir-hampir sudah standard dalam buku-buku tasawuf adanya kutipan hadis masyhur mengenai ihsân. Yakni, bahwa “ihsân adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; atau, kalau engkau tak dapat melihatnya, percaya bahwa Dia melihatmu.” Hal ini dikarenakan umumnya sufi mengidentikkan tasa­wuf dengan ihsân. Artinya, tasawuf  pada intinya adalah beribadah kepada Allah. Hanya saja, dalam ta­sawuf, ditekankan agar ibadah hendaknya tidak se­mata-mata gerakan-gerakan fisik yang kosong, melain­kan penuh khusyû‘ dan khudhû‘. Yakni menghadirkan hati dan penuh kerendahan di hadapan Allah Swt.
 

Ku­tipan standard lain dalam buku-buku tasawuf adalah hadis tentang hamba-hamba Allah yang mendekatkan diri secara terus-menerus dengan melakukan ibadah nawâfil (sunnah). Sedemikian, sehingga Allah mencin­tainya dan dia menjadi Matanya untuk melihat, Te­linga­nya untuk mendengar, Kakinya untuk berjalan, dan seterusnya. Lagi-lagi di sini ibadah dipahami sebagai inti tasawuf.

Adalah kaum sufi juga yang menekankan shalat, mi­salnya, sebagai mi‘râj-nya kaum Mukmin. Bahwa shalat­lah yang bisa membawa seseorang bertemu de­ngan Allah Swt. Demikian pula halnya dengan puasa, haji, zakat bersedekah, dan sebagainya. Sudah me­rupakan suatu kelaziman bahwa para sufi secara khusus membahas kegiatan-kegiatan ibadah (mahdhah atau ritual) dalam buku-buku mereka. Dan itu tak terbatas pada para sufi “ortodoks” seperti Imam Ghazali, me­lainkan juga dalam karya-karya Ibn ‘Arabî, Sayyid Haidar ‘Amuli, dan sebagainya. Bagi kaum sufi syariat adalah landasan tasawuf (tharîqah), sedang tharîqah adalah jalan menuju hakikat (haqîqah atau kebenaran sejati).

Al-Qusyairi, penulis kitab tasawuf terkenal, Risâlah Qusyairiyyah, misalnya, menyatakan bahwa tanpa syariat tak akan seseorang berhasil meraih hakikat. Bahkan, menurut­nya, hakikat identik dengan syariat, dan sebaliknya. Al-Kalabadzi, penulis buku sufi terkenal lainnya, Al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl Al-Tashawwuf (Pemahaman atas Mazhab Kaum Sufi), menyatakan bahwa kewajib­an menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi. Tak ada satu maqâm (tataran) pun yang mem­buat orang yang telah meraihnya bebas dari kewajiban syariat.  Justru sebaliknya, makin tinggi maqâm seseorang dalam tasawuf, seharusnya makin keraslah kesetiaannya terhadap ajaran-ajaran syariat. Al-Hujwiri, penulis Kasyf Al-Mahjûb (Penyingkap yang Terselubung) menisbah­kan kemunafikan kepada orang-orang yang mengaku sufi, tapi tak menjalankan perintah-perintah syariat.

Ibn ‘Arabî, seorang tokoh besar sufi, yang pi­kiran-pikirannya seringkali disalahpahami orang se­hing­ga dituduh sebagai kafir itu, mendefinisikan tasawuf sebagai “mengikatkan diri kepada perilaku-perilaku ter­puji menurut syariat, secara lahir dan batin.” Syaikh Akbar ini bahkan mengalokasikan tak kurang dari 1700 halaman dari Futuhat al-Makkiyah untuk membahas aspek fiqh-betapapun pada puncaknya dilihat dari perspektif makna-batinnya-dengan sistematika buku-buku fiqh standar. Bagi Ibn ‘Arabi, istilah “syari’ah” memiliki dua makna. Makna umum dan teknis. Dalam makna umumnya, syari’ah identik dengan “jalan raya” (makna harfiah kata “syari’ah), yakni agama yang diwahyukan sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an (dan hadis). Di dalamnya terkandung semua aspek agama dan ilmu-ilmu keagamaan, bukan hanya fiqh, yakni kodifikasi hukum Islam, yang merupakan makna-teknis istilah ini. Dalam konteks ini, syari’ah identik dengan haqiqah.

Bagi sebagian orang syari’ah hanya berurusan dengan dunia inderawi, yang hanya mencerminkan multisiplisitas dunia empiris itu. Tidak demikian bagi Ibn ‘Arabi. Ia menolak pembedaan antara syari’at dan hakikat. Memang benar bahwa syari’at adalah dimensi lahir dari hakikat, yang merupakan dimensi batinnya. Tapi, justru sifat lahir syari’at itu memungkinkan kontras dan kontradiksi dunia inderawi, yang semata-mata merupakan cermin dari hakikat itu sendiri.

Pada kenyataannya, “ … tak ada hakikat yang bertentangan dengan syari’at.” Sejalan dengan itu, Ibn Arabi sama sekali menolak jika ada yang berpendapat bahwa para pejalan spiritual tak lagi butuh untuk menaati ajaran syari’ah. Sebaliknya, hanya melalui syari’ahlah sorang sufi dan meraih tujuannya untuk bersatu-kembali dengan Allah. Hanya mereka yang tak cukup ilmu dan pemahamannya sajalah yang berpendapat bahwa syari’ah tak perlu bagi orang-orang yang telah mencapai maqam spiritual yang tinggi. Demikian pula, begitu kerasnya Ibn ‘Arabi dalam menempatkan sentralnya syari’ah dalam tasawuf sehingga ia mengajarkan agar para penuntut ilmu tasawuf hanya belajar dan mendengarkan nasihat guru sufi yang melaksanakan dan patuh pada syari’ah.

Manfaat syari’ah adalah untuk membekali manusia dengan pengetahuan yang yang tak bisa diraih oleh akal tanpa pertolongan Allah. Padahal pengetahuan ini adalah memberikan satu-satunya sarana untuk meraih kebahagiaan. Dengan kata lain, manusia tak dapat meraih rahmat-penyelamatan dari Allah kecuali melalui syari’ah. “Jalan kebahagiaan adalah yang dihamparkan oleh syari’ah, tidak oleh yang lain,” katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar