Senin, 07 Januari 2013

Sejarah Masyarakat Adat Paer Bayan



Oleh Adlan Mamnun : Sejarah Adat Paer Bayan di masa lampau, memang belum ada bukti-bukti sejarah yang telah di akui secara antropologi, meski demikian ada beberapa versi yang tertuang dalam bentuk catatan-catatan peninggalan para pendahulu masyarakat bayan. Seperti Lontar, dalam bentuk babad-babad, ataupun kitab-kitab kuno, salah satu kitab yang cukup di kenal yaitu kitab yaitu kitab Kotara Gama yang di tulis oleh Empu Prapanca pada pupus ke 14 pada masa kerajaan Majapahit.





            Pengertian Masyarakat Adat



Meski belum ada definisi yang di terima secara menyeluruh tentang masyarakat adat, akan tetapi Jose Martinez Cobo ( Pelopor  khsusus PBB ) yang melakukan sebuah studi yang bersejarah pada tahun 1987 tentang “ Persoalan Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat “ memberikan sebuah definisi kerja tentang masyarakat adat, yang sekarang ini banyak di pergunakan sebagai bahan rujukan di berbagai kalangan, terutama kalangan yang peduli tentang keberadaan masyarakat adat dan perjuangan hak-hak asasinya, definisi tersebut menyangkut tiga unsur utama, yaitu  Pertama kesinambungan sejarah sejak masa sebelum penaklukan dan sebelum terbentuknya masyarakat Pra-Kolonial, Kedua Identifikasi diri sebagai masyarakat adat, dan yang Ketiga keanggotaan masyarakat adat sebagai komunitas ( Kelompok ).

Kesinambungan sejarah yang di maksud dengan istilah ini adalah kesinambungan yang membentang dalam sebuah rentang waktu panjang sampai dengan saat ini, yang meliputi sejumlah factor berikut seperti : Kesinambungan dalam mendiami tanah leluhurnya atau sekurang-kurangnya sebagaian daripada  tanah tersebut, kesamaan leluhur dengan kelompok orang pertama yang mendiami tanah tersebut, Kesinambungan budaya secara umum atau dalam perwujudan-perwujudan budaya yang khusus, Kesinambungan bahasa, menempati bagaian tertentu dari sebuah negeri atau bagian tertentu dari dunia ini dan faktor lain yang berkaitan, identitas diri dan keanggotaan komunitas atau kelompok, pada tataran perorangan yang di sebut sebagai seorang anggota masyarakat adat yaitu seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat adat ( kesadaran Kelompok ) dan di akui serta di terima oleh kelompoknya, hal ini menjaga kedaulatan komunitas masyarakat adat untuk menentukan siapa yang menjadi anggota mereka, tanpa ada campur tangan pihak luar.

Berangkat dari pemahaman tersebut diatas bahwa masyarakat adat paer bayan telah ada sebelum negara ini terbentuk, bahkan sejak zaman kerajaan, masyarakat adat paer bayan juga memiliki perangkat lembaga kepemerintahan, wilayah administratif, pranata adat dan tentunya komunitas persekutuan masyarakat sebagamana layaknya sebuah negara, betapapun kecil dan sederhana sistem pemerintahan masyarakat adat paer bayan sekarang ini, tetapi mereka mengatur sendiri aspek sosial, politik, ekonomi dan budayanya, namun permasalahannya adalah selama ini kebanyakan kalangan memahami masyarakat adat hanya sebatas urusan budaya saja, seperti perkawinan, kesenian dan upacara rirual adat, padahal keberdayaan masyarakat adat juga menyangkut tentang otoritas sosial, ekonomi, politik dan budayanya.

Wujud dari otoritas itu tercermin pada adanya perangkat lembaga adat, wilayah hukum adat, pranata adat dan komunitas masyarakat adat, dengan demikian, membicarakan pengertian masyarakat adat bukan saja pada budaya tetapi juga pada hak otoritasnya, jadi dalam keterbatasan memahami masyarakat adat bukan saja di alami oleh masyarakat awam, namun juga sampai para pembuat kebijakan, misalnya persoalan hak penguasaan masyarakat adat atas pengelolaa sumberdaya alamnya, hal ini berangkat dari distrorsi pemahaman masyarakat dan para pembuat kebijakan terhadap keberadaan masyarakat adat tersebut.

Masyarakat adat di Pulau Lombok yang di kenal dengan suku Sasak, namun di pulau ini juga terdapat berbagai macam bentuk adat dan budaya, sehingga melahirkan sebutan sebagai pembeda atau untuk membedakan ciri khas dari keberagamannya, misalnya dari segi bahasa dan sistem perkawianannya, identiknya dengan sebutan Wilayah atau Paer seperti Paer Timuq ( Wilayah Timur ), Paer Lauq (Wilayah Utara), Paer Baret ( Paer Barat ) dan Paer Daye ( Wilayah Selatan ), pembagian sebutan tersebut semasa kejaayaan kerajaan Seleparang, Pejanggik dan Bayan di masa lampau, hal ini di sebabkan oleh faktor geografis pulau lombok yang di tengah-tengahnya terdapat Gunung Rinjani, yang di diami oleh masyarakat lombok di setiap kawasan pinggir hutan, salah satunya adalah masyarakat adat Bayan yang berada di wilayah utara gunung  rinjani ( Paer Daye ) atau masyarakat adat Dayan Gunung.

Masyarakat adat Bayan di kenal dengan berbagai sebutan seperti Masyarakat Paer Daye ( Orang Dayan Gunung ), Masyarakat asli Bayan, Komunitas Adat, dan Orang Gunung, karena masyarakat adat tersebut kebanyakan berdiam, hidup dan berkembang di pedesaan pinggir kawasan hutan, masyarakat adat bayan bahkan telah berdabad-abad mereka menunjukkan kemampuannya untuk menjaga keberlanjutan  komunitas melalui sistem tradisionalnya, sehingga cara hidup yang demikian itu masih di pandang oleh banyak orang sebagai  Orang Primitif, Orang Terbelakang, Orang Kuno, Orang Kolot namun tidak sedikit orang melakukan diskriminasi terhadap masyarakat adat bayan, walau hanya dalam bentuk sekedar ungkapan saja seperti Orang Waktu Telu, Orang Gawah ( Orang Terisolasi ), dan lain sebaginya.

Sementara banyak orang yang menyakini bahwa modernisasi dan globalisasi akan melahirkan sebuah transformasi pembangunan di segala bidang, hal ini juga di pandang sebagai salah satu cara bagi masyarakat untuk dapat memperbaiki situasi mereka, namun sebaliknya bagi masyarakat adat istilah pembangunan yang tidak berbasis lingkungan dan kearifan lokal mempunyai arti buruk dalam pandangan masyarakat adat, hal ini di sebabkan adanya pengalaman-pengalaman traumatis akibat pelaksanaan pemerataan pembangunan di segala bidang, namun masyarakat adat sendiri menyebutnya sebagai serangan pembangunan atau dengan kata lain Agresi Pembangunan, yang semestinya bagi mereka bahwa pembangunan akan dapat merekatkan ( Agregatif ) berbagai komunitas dan memperhatikan keseimbangan lingkungan, namun kenyataanya pembangunan menyerang dan menggusur sistem dan praktik-praktik kehidupan masyarakat adat, asumsi dasarnya bahwa cara hidup yang di tempuh oleh masyarakat dominan adalah paling benar menurut fitrah manusia bila di bandingkan dengan cara-cara masyarakat adat, jelas hal ini mencerminkan konflik yang menandai hubungan antara masyarakat adat dengan struktur-struktur ekonomi, politik dan social masyarakat dominan.

Serangan pembangunan yang di maksud adalah manakala masyarakat adat menjadi korban dan bukan sebagai penikmat hasil, ketika masyarakat adat di paksa berada di luar perencanaan pembangunan dan bukan menjadi mitra, tapi ketika masyarakat adat di pandang sebagai sumberdaya bagi pembangunan yang berkiblatkan kepada perolehan keuntungan semata dan bukan menjadi pusat perhatian dari pembangunan itu sendiri, serangan pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum, kegiatan pelanggaran Hak Asasi Manusia ( HAM ) dalam seluruh dimensi hidup merekapun juga terjadi, baik ekonomi, sosial, budaya dan politik ( Aliansi Pembela HAM Philipina atau The Philippine Alliance Of Human Rights Advocates, 1996 ).


Pengertian Paer

Bagi masyarakat adat bayan pengertian dari Paer berarti “ Wilayah “, yang pada dasarnya Paer merupakan wilayah yang di huni, di kuasai, atau di miliki oleh suatu komunitas masyarakat yang hidup dalam suatu wilayah tertentu, seperti wilayah Gubuq ( Pedesaan ), Dasan ( Pedusunan ), Repok ( Perkampungan Kecil yang terdiri berapa kepala kelurga dan  Banjar ), kalau di artikan dengan kondisi sekarang seperti Banjar, Dusun, Desa dan lain-lainya. Paer juga merupakan areal tempat berusaha atau mencari mata pencaharian hidup, serta batas wilayah yang merupakan suatu simbol integritas eksistensi kelompok yang layak untuk di pertahankan dari gangguan pihak luar, dengan demikian dapat di pandang secara konseptual bahwa Paer mengandung makna ekonomi, politik, hukum dan budaya, yang di implementasikan dalam pelaksanaan pemerintahan dan adatnya, kemudian menentukan batas-batas wilayahnya baik kerja, wewenang, fungsi, hak dan tanggung jawabnya yang di sebut dengan “ Wet “ ( Batas ) tentunya dengan kesepakatan-kesepakatan lokal melalui proses gundem, selanjutnya dari beberapa wilayah-wilayah kecil tersebut tergabung pada satu wilayah Paer Bayan, sedangkan kekuasaan dalam bentuk pemerintahan yang berdasarkan persamaan latar belakang, adat-istiadat ( Kebiasaan ), sosial budayanya yang hidup dan berkembang pada suatu wilayah tertentu, sehingga di wilayah bayan di sebut dengan “ Adat Paer Bayan “ karena di wilayah bayanlah tempat pusat pemerintahannya yaitu di bayan Bleq.

Selanjutnya kata Bayan berasal dari bahasa Arab ” Al-Bayan ”  yang artinya petunjuk atau penerang, kemungkinan besar juga di ambil dari bahasa Kawi yaitu “ Bayan ”, yang di ambil dari nama seekor Burung Bayan, nama ini sangat terkait dengan hadirnya agama Islam di Bayan yang di bawa oleh para penyebar Islam dari tanah Jawa, sedangkan sebutan dan tulisan kata “ Bayan ” terpampang jelas berupa gambar “ Burung Bayan ”, pada lembaran papan depan mimbar di setiap Masjid Kuno ( Masjid Tua ) dan terpampang pula di atas setiap puncak atap masjid-masjid kuno yang masih ada di wilayah adat bayan, sehingga Lambang Burung Bayan menandakan sebuah masjid yang berarti bahwa Masjid adalah tempat orang sujud untuk mendapatkan petunjuk atau penerangan agama ( Islam ) dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sekarang kata Bayan menunjukkan pada sebuah nama wilayah “ Desa “ yaitu Desa Bayan dan juga menjadi sebuah nama wilayah “ Kecamatan  , yakni Kecamatan Bayan, walaupun pusat kota kecamatannya berada di Desa Anyar.


Sejarah

Sejarah Adat Paer Bayan di masa lampau, memang belum ada bukti-bukti sejarah yang telah di akui secara antropologi, meski demikian ada beberapa versi yang tertuang dalam bentuk catatan-catatan peninggalan para pendahulu masyarakat bayan. Seperti Lontar, dalam bentuk babad-babad, ataupun kitab-kitab kuno, salah satu kitab yang cukup di kenal yaitu kitab yaitu kitab Kotara Gama yang di tulis oleh Empu Prapanca pada pupus ke 14 pada masa kerajaan Majapahit.

yang menceritakan berbagai sistim sosial dan sistim pemerintahan pada masa lampau, selain versi dari kitab Kotara Gama ada beberapa versi seperti Babad kitab Suwung dan Babad Lombok, pada babad Suwung sendiri lebih banyak menceritakan tentang sejarah asal usul masyarakat Asli Lombok, sedangkan pada Babad Lombok menceritakan tentang asal usul masyarakat lombok pada versi yang berbeda, ada juga beberapa sumber yang berkembang di kalangan masyarakat Sasak ( Baca : Lombok ), khususnya tentang Babad Bayan yang memiliki korelasi dengan kitab Tapal Adam, ini cenderung menceritakan pada pendekatan tentang kejadian manusia berdasarkan keyakinan yang selama ini di akui kebenarannya dalam masyarakat Islam di bayan, namun itu lebih pada tingkat penafsiran dari masyarakat bayan bahwa para wali songo dan para pedagang dari timur tengah yang menyebarkan agama islam di wlayah bayan, hal ini di buktikan dan di tandai dengan adanya pelabuhan Labuan Carik di desa Anyar dan Pelabuhan Lokok Uringin di Barung Birak Desa Sambik Elen, yang di jadikan sebagai tempat persinggahan para wali songo dan para pedagang timur tengah yang mengemban misi penyebarluasan Islam di pulau Lombok tersebut.

Dalam versi yang berbeda di yakini perkembangan masyarakat bayan sudah berkembang pesat dan maju sejak 3000 tahun yang silam, jika di lakukan analisis kesejaharahan dalam kurun waktu tersebut sebenarnya perkembangan masyarakat bayan sama tuanya dengan perkembangan sejarah kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke 12, itu artinya kehidupan masyarakat bayan boleh di bilang sama tuanya dengan kehidupan pada masa kerajaan Sriwijaya di wilayah Sumatera, di perkirakan pada masa itu pula, tata cara kehidupan memang belum terorganisir secara baik dan masyarakat masih lebih menggantungkan hidupnya pada kekuatan alam, mereka memiliki keyakinan kekuatan alam menjadi satu-satunya tempat menggantungkan kehidupannya ( Baca : Animisme ).

Bukti-bukti lain yang bisa di jadikan dasar adalah cerita-cerita rakyat dari para orang tua, baik tentang Sigar Penjalin, Tameng Muter, Temelaq Mangan dan cerita-cerita rakyat lainnya, cerita tersebut di ceritakan dan berkembang secara turun temurun, kesemua cerita ini berkisah tentang hubungan masyarakat Lombok dengan kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit dan kerajaan Karang Asem Bali, pada masa lampau masyarakat bayan masih menganut kepercayaan Animisme hingga kepercayaan agama Hindu dan Budha, sementara kemunculan Islam di Lombok yang di ungkapkan oleh Raden Asjanom ( Tokoh Adat Bayan ) bahwa pengaruh masuknya Islam pertama kalinya melalui Bayan sebagai pintu masuknya Agama Islam yang di bawa oleh seorang Wali Songo dari Jawa yaitu Sunan Perapen pada akhir abad ke 14, sehingga masyarakat Paer Adat Bayan  memiliki Palsafah hidup atau pandangan hidup “ Pilosofi Adat Paer Bayan “ yaitu tentang asal usul kejadian kehidupan di muka bumi ini, yang dalam keyakinannya bahwa siklus kehidupan manusia melalui 3 ( Tiga ) tahapan yaitu : 1) Lahir ( Metu atau Araq ), 2). Hidup ( Idup ), dan  3). Mati ( Mate ), jadi asal kelahiran dan keberadaan mahluk ciptaan Tuhan di dunia ini melalui tiga pula asal-muasalnya yaitu : Tumbuh ( Meniok ), Bertelur ( Menelok ) dan  Melahirkan ( Menganak ), arti asal mula tumbuh berupa tumbuh-tumbuhan, bertelur berupa binatang dan burung serta melahirkan berupa manusia dan binatang menyusui, sehingga dalam pelaksanaan pemerintahan adat paer bayan pandangan hidup atau palsafah hidup masyarakat adat bayan menjadikannya sebagai petunjuk bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa tunduk dan taat pada 3 ( tiga ) unsur hukum yaitu : Hukum Pemerintahan, Hukum Adat dan Hukum Agama

1.      Hukum Pemerintahan atau aturan pemerintahan di laksanakan oleh  Pemekel atau Mekel ( Pemegang Pemerintahan ).
2.      Hukum Adat atau aturan adat yang pelaksanaannya di lakukan oleh para Toaq Lokaq atau Penganggo adat ( Pemegang Adat ).
3.      Hukum Agama atau aturan agama yang pelaksanaan syariatnya oleh Kyai Penghulu ( Pemegang Agama ).

Merujuk pada pelaksanaan pandangan hidup masyarakat adat bayan yang taat dan tunduk pada 3 ( Tiga ) hukum tersebut terjadi adanya pembagiaan kekuasaan untuk menjalankan roda kelembagaan pemerintahan adat, yang memiliki kekuasan tertinggi dalam Musyawarah Besar Adat ( Gundem Bleq ), yang terdiri dari para Toaq Lokaq adat ( Tokoh ).

Dalam jabatan pemerintahan adat Paer Bayan yang di pegang atau di pangku oleh seseorang di sebut dengan Pemangku Pemerintahan Adat Paer Bayan, sehingga para pemegang pemerintahan adat paer bayan baik yang berfungsi struktural ( Fungsional ) maupun berfungsi khusus 9 Fungsi Spsialis ), maka apabila dari kalangan masyarakat Bangsawan dalam jawatan pemegang adat pada wilayah tertentu atau paer maka di panggil Raden atau Den ( Mamiq ), sedangkan apabila dari kalangan masyarakat biasa atau jajar karang dalam jawatan pemegang adat pada wilayah tertentu atau paer maka di panggil Amaq atau Maq ( Maq Lokaq ), sedangkan dalam pemerintahan adat yang mencakup keseluruhan wilayah kekuasan pemerintahan Adat Bayan di sebut dengan  “Adat Paer Bayan “, yang di pimpin atau di pangku oleh seorang Raja yaitu Susngsungan Agung Kerajaan Bayan yang berpusat di Bayan Timur ( Bayan Timuq Orong ), dari keturunan raja inilah sehingga sampai sekarang di sebut dengan Mangku atau Den Mangku.

Pemerintahan Adat Paer Bayan secara struktural memiliki Pemangku Adat atau Mangku yang di sebut dengan “ Pemekel Bleq “ ( Den Mangku ) yaitu sebagai pemegang peranan tertinggi dalam pemerintahan adat paer bayan ( Top Laider ), kemudian Pemekel Bleq tersebut memiliki Empat Pemekel-an, terdiri dari Pemekel Bayan Timur, Pemekel Loloan, Pemekel Bayan Barat dan Pemekel Karang Bajo, kemudian pemekel-pemekel tersebut memiliki kewenangan dan wilayah kekuasan tertentu, sehingga keberadaan keseluruhan kepemekelan dalam pemerintahan adat paer bayan di sebut dengan “ Pemekel Adat Bayan Bleq “, jadi kepemekelan tersebut yang menjalankan tugas, fungsi dan wewenang pemerintahan ( Hukum Pemerintahan) di paer bayan, selanjutnya di bawah pemekel adat bayan bleq terdapat Penganggo adat ( Toaq Lokaq ) yaitu orang yang di tua-kan sebagai pemegang dan Pemeran adat bayan secara fungsional maupun fungsi spesialisasi secara keseluruhan pemegang dan pemeran adat ( Pemomong ), inilah yang menjalankan kegiatan pelaksanaan Adat ( Hukum Adat ) paer bayan, akan tetapi baik kedudukan pemekel maupun penganggo adat ( Toaq Lokaq ) tersebut mempunyai kewajiban hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masalah Ke-dunia-an saja.

Sedangkan kegiatan pelaksanaan adat bayan yang bersifat Ke-agama-an di pegang dan di jalankan oleh Keyai, kedudukan keyai tersebut tidak termasuk dalam struktural pemerintahan adat bayan tetapi kedukukan keyai terpisah, karena hal ini terjadi di sebabkan oleh seiring dengan masuknya agama islam di bayan, maka jabatan adat juga di isi dengan jabatan yang mengurusi masalah keagamaan dalam hal ini adalah keyai, sedangkan fuingsi dan tugasnya hanya mengurus bidang-bidang agama yang berhubungan dengan Akhirat, jadi lebih cenderung fungsinya keyai mengurus agama ( Gama ) dan tidak mengurus masalah keduniaan seperti pemerintahan dan hukum adat, namun tetapi dalam jabatannya sebagai keyai yang mengurisi kegiataan keagamaan selalu di fungsikan pada setiap pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan adat, karena keyai di anggap orang-orang yang suci yang mampu memberikan pencerehan moral dan kesejukan bathin bagi masyarakat adat paer bayan dengan prinsif pendekatan pada sang pencipta alam yaitu Tuhan Yang Maha Esa, keberdaan keyai tersebut dalam kehidupan dan pelaksanaan pemerintahan paer adat bayan tidak dapat di pungkiri, karena hal ini sebagai salah satu bentuk bukti terjadinya dinamika sejarah dalam tataran perubahan dan perkembangan pemerintahan adat paer bayan di masa kerajaan dulu, sehingga pelaksanaan pemerintahan adat Paer bayan di sebut juga bentuk pemerintahan Adat dan Agama ( Adat Gama ).

Keyai Paer Bayan terdiri dari “ Keyai Keagungan “ dan “ Keyai Santri “, keyai keagungan yang terdiri dari empat keyai di antaranya adalah Keyai Pengulu, Keyai Lebe, Keyai Ketib dan Keyai Modin, sedangkan keberadaan Keyai Santri sebagai pengikut ( Penyangkol ) dari empat keyai keagungan tersebut, peruntukan keyai santri sebagai pengikut atau penyangkol boleh lebih tetapi tidak boleh kurang, dengan proporsi sebagai berikut : Keyai Pengulu 20 orang keyai santrinya, Keyai Lebe 10 orang santrinya dan Keyai Ketib 6 orang, khusus untuk Keyai Mudin tidak memiliki Keyai santri, fungsi dan perannya masing-masing keyai dalam pelaksanaan kegiatan adat yang menyangkut keagama-an seperti, Kayai Penghulu mengurus Perkawinan dan Penceraian, Kayai Lebe tugasnya berda’wah atau bersyi’ar islam, Keyai Ketib tugasnya menjadi khatib pada sholat jum’at dan lebaran kemudian Keyai Mudin tugasnya memimpin dan membawa Do’a.

Keempat Keyai Paer Bayan yang di sebut sebagai keyai keagungan karena pengankatannya melalui proses demokrastis- aristokratis yaitu pengangkatannya berdasarkan keturunan praktisi agama, baik yang turunan Wali ( Patrilineal ) dari pihak laki-laki ataupun turun Bibit ( Matrilineal atau keturunan Garis Prempuan ( Maq Lokaq Toaq Turun ),  sedangkan pencalonan keyai tersebut di laksanakan selama empat hari empat malam dengan melakukan pesemedian / atau bertafa’kur di persinggahan Keyai Lebe Atassalam, yang rute penyebaran dakwahnya yang di mulai dari wilayah ujung timur sampai bayan, mengikuti rute wilayah da’wah yang pernah di lakukan oleh keyai lebe tersebut seperti di Kampu Nangka Rempek, Kampu Lokok Getaq, Kampu Barung Birak dan Kampu Loloan, kampu-kampu termasuk Kampu Beleq ( Kagungan ), sementara Pelantikan atau peresmian ke empat keyai keagungan ini di laksanakan dalam prosesi acara Begundem Bleq ( Musyawarah Besar ), bertempat di Kampu Bayan Timur ( Berugaq Agung ), acara pelantikan dan peresmian keyai tersebut dalam Gundem di pimpin oleh Pemangku Bayan Timur  sebagai pemangku tertinggi, yang di hadiri oleh semua Toaq Lokaq atau pemuka pemegang adat, setelah para keyai melakukan Penguapan Janji Adat ( Ubaya Adat ), serta di pasangkan pakain berwarna dan selengkapnya ( Sapuk ) sebagai symbol seragam  ritual dalam jabatannya sebagai keyai yang di anggap suci, selanjutnya di persilahkan tinggal di rumah dinas di Kampu Kagungan dengan perlengkapan hidupnya yang di peroleh dari kampu-kampu tempat persemedian masing-masing.

Dengan keberadaan kelembagaan adat Paer Bayan tersebut, maka dalam menjalankan roda kelembagaannya oleh para tokoh-tokoh adat yang di percaya oleh masyarakat untuk mengurusi dan memimpinnya, yang selanjutnya di anggap sebagai Datu ( Pemerintah ) untuk mengurus segala bentuk aktifitas keberlansungan kehidupan komunitas dengan menerapkan pola pemerintahan adat yang tentunya meliliki rakyat, hukum, wilayah dalan lain sebagainya, untuk tujuan kesejahteraan bersama.

Korelasi dari keberadaan kelembagaan adat tersebut dalam kaitannya dengan sistim pengelolaan hutan atas perwujudan wilayah yang di milikinya meliputi lahan, laut, dan hutan serta yang terkandung di dalamnya di kuasi oleh lembaga adat dan di ikat oleh aturan-aturan lokal ( Awiq-Awiq ) yang di peruntukkan untuk memenuhi kebutuhan dan hajat masyarakat komunitas adat, sistem pengelolaan sumberdaya yanag ada baik sistem pengelolaan Lahan ( Sawah dan Ladang ), Laut ( Pantai ), Air ( Irigasi ) dan Hutan di kelola dengan kearifan lokal ( Adat ) yang pengelolaannya seperti layaknya sistem sebuah bentuk negara. Kemudian sistem ini di pertahankan, di lestarikan dan di budayakan oleh masyarakat adat bayan secara turun menurun sampai saat ini, sehingga khsusnya pada sistem pengelolaan hutan bagi masyarakat adat bayan merupakan sebuah warisan sejarah dari keberadaan Pemerintah Adat Paer Bayan di masa lampau.

Wilayah Kerja Pemekel

Komunitas masyarakat adat Paer Bayan ini merupakan salah satu suku Sasak yang bermukim di wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat, komunitas masyarakat adat bayan sudah sejak lama di kenal sebagai salah satu bentuk sistem pemerintahan wilayah adat di masa lampau yang masih di kenal hingga  sekarang oleh masyarakat lombok yang kental dengan nuansa adatnya, yang memiliki wilayah adat ( Paer ),  pemerintahan adat, masyarakat adat ( Komunitas ), hukum adat, pemanfaatan hasil hutan dan lain sebagainya, yang di atur dan di kelola melalui kelembagaan masyarakat adat dalam bentuk pemerintahan adat paer bayan, baik batas wilayah, wewenang, fungsi, tugas, tanggungjawab dan hak bagi pemegang peran pemerintahan adat paer bayan dalam struktur kepengurusan kelembagaannya baik pemekel maupun penganggo adat ( Toaq Lokaq ), dapat di lihat sebagai berikut :
  

  1. Pemekel Bayan Timur ( Bayan Timuq Orong ) meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq Sembagek, Lokaq Ruaq Bangket atau Telaga Montong, Lokaq Bual Lokaq Santinggi Daya, Demung Akar-Akar dan lain-lain.

    Pemekel Loloan meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq Lokoq Getak, Demung Barung Birak, Lokaq Mandalika Barung birak, Demung Obole-Obel, Lokaq Dasan Biloq, Lokaq Torean dan lain-lain.

    Pemekel Bayan Barat ( Bayan Barat Orong ), meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq Senaru, Nangka Rempek, Semokan, Batu Gembung, Demung Telaga Bagek, Demung Labang Kara,  Demung Sesaid, Lokaq Pelawangan dan lain-lain.

    Pemekel Karang Bajo meliputi wilayah penganggo adat ( Toaq Lokaq ) seperti : Lokaq
    Gantungan Rombong, Lokaq Golok, Walin Gumi, Lokaq Pande, Penyunat Gumi, Prumbak Lauq ( Montong Gedeng ), Lokaq Loang Godek, Perumbaq daya ( Bangket Bayan ) dan lain-lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar