Senin, 07 Januari 2013

Artikel Wajibul Wujud



Dalam pembahasan ma’rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya, “Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?”


Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal dalam pembahasan filsafat .
Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya “Why I am Not a Christian?” (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristen?) berkata, “Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji, pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini. Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta!”

Namun, kita tidak berpikir bahwa seseorang yang paling tidak mengenal masalah-masalah filsafat yang berhubungan dengan pembahasan ma’rifatullah dan dunia metafisika, akan bungkam dalam menjawab pertanyaan ini.

Pembahasan ini sanga dah jelas. Ketika kita berkata bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, maksudnya adalah setiap sesuatu yang terjadi (hadits) dan mumkin al-wujud. Dengan demikian, kaidah universal ini hanya berlaku pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan kemudian ada, bukan pada wajib al-wujud yang bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Satu wujud azali dan abadi tidak memerlukan pencipta sehingga kita bertanya­tanya; siapakah pencipta Sang Pencipta? Dia berdiri sendiri (qa’im) atas Dzat-Nya sendiri. Dia tidak pemah tiada sebelumnya sehingga memerlukan sebab untuk diwujudkan.

Dengan kata lain, wujud Tuhan berasal dari wujud-Nya sendiri, bukan berasal dari luar Dzat-Nya.’ Dia tidak diciptakan sehingga ada pencipta-Nya. Ini dari satu perspektif.

Dari perspektif lain, sebaiknya Tuan Russel dan orang­-orang yang sepaham dengannya mengajukan soal ini kepada diri mereka sendiri, yakni, dalam ungkapan “apabila Tuhan memiliki pencipta…”, kata pencipta akan terulang. Apabila kita bertanya bahwa pencipta-nya pencipta itu siapa, niscaya akan berlanjut begitu seterusnya; dimana setiap pencipta memerlukan penciptanya entah sampai kapan. Inilah tasalsul (vicious regress) yang tak berujung, dan ketidakabsahan tasalsul ini sangatlah jelas.

Dan apabila kita sampai pada wujud yang keberadaanya berasal dari diri-Nya sendiri (mandiri) dan tidak memerlukan pencipta (baca: wajib al-wujud), Dialah Tuhan Sang Pencipta seluruh semesta raya ini.

pembahasan ini juga dapat diterangkan dengan pendekatan lain. Ketika kita bukan seorang mukmin dan sepaham dengan apa yang diyakini oleh kaum materialis, kita tetap harus menjawab soal ini. Dengan menerima hukum sebab-akibat, segala sesuatu di alam ini adalah akibat dari sebab yang lain. Sementara soal serupa yang kita ajukan kepada orang-orang mukmin, juga kita ajukan kepada seorang materialis; bahwa sekiranya segala akibat adalah materi, lalu apa yang menjadi sebab wujudnya materi?

Mereka juga tidak memiliki altematif lain dalam menjawab soal ini. Mereka akan berkata, “Materi azali yang senantiasa ada dan akan tetap ada. Materi azali ini tidak memerlukan sebab. Dengan ungkapan lain, ia adalah wajib al-wujud.”

Atas dasar ini, kita melihat seluruh filsuf dunia, baik Ilahi atau materialis meyakini satu wujud azali. Suatu wujud yang tidak memerlukan pencipta dan senantiasa ada. Perbedaannya adalah kaum materialis beranggapan bahwa sebab awal ini hampa ilmu, pengetahuan, akal dan nalar. Dan mereka percaya, sebab awal ini memiliki jasad, terikat di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, bagi para fisuf Ilahi, Sebab Awal ini memiliki ilmu, kehendak dan tujuan. Mereka tidak percaya bahwa Sebab Awal ini memiliki jasad, dan terikat di dalam ruang dan waktu. Ia berada di atas ruang dan waktu.

Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan Tuan Russel yang berpandangan bahwa sekiranya ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mukmin dan berada di barisan kaum materialis dan kabur dari cengkaraman soal ini, pertanyaan itu tidak akan membiarkannya lolos. Karena, kaum materialis juga percaya kepada hukum sebab-akibat dan berkata bahwa setiap peristiwa memiliki sebab.

Dengan demikian, solusi untuk memecahkan masalah ini adalah kita harus memahami dengan baik perbedaan antara wujud hadits dan azali, mumkin al-wujud dan wajib al-wujud, sehingga kita mengetahui bahwa yang memerlukan pencipta adalah wujud­-wujud yang hadits (yang terjadi) dan mungkin. Maksudnya ialah bahwa setiap yang tercipta, memerlukan pencipta. Namun, yang tidak tercipta, tidak akan memiliki pencipta.
 

1 komentar: