Oleh Raden Jambianom : Komunitas masayarat
adat Bayan merupakan Suku Sasak yang bermukim di wilayah Kecamatan Bayan,
Kabupaten Lombok Utara
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Komunitas masyarakat ini sudah sejak lama dikenal sebagai penganut atau
kepercayaan dan adat Waktu
Telu
yang dipertentangkan dengan kepercayaan dan adat waktu lima, Wakt Telu adalah komunitas orang-orang sasak penduduk asli
Pulau Lombok, yang meskipun mereka mengaku sebagai muslim, tetapi masih sangat
percaya terhadap Ketuhanan Animistik para leluhur maupun terhadap benda-benda antropomoris
atau benda yang diangap bernyawa.
Kepercayaan waktu
telu bukanlah suatu agama, melainkan hanya sebuah kepercayaan yang
terwujud dalam berbagai pelaksanaan adat, baik adat gama maupun adat luar gama.
Penganut kepercayaan waktu telu hampir sama dengan pemeluk Islam abangan yang
di dalam ajarannya telah terjadi singkretisme sebagai akibat dari pengaruh
berbagai macam ajaran agama dan kepercayaan. Mereka
mempercayai Islam akan tetapi mengikuti juga ajaran dan kepercayaan Animisme,
Hinduisme dan Budhisme. Sedangkan Islam Waktu Lima tidaklah seluruhnya seperti
Islam sendiri, tetapi pelaksanaan syariat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan
dalam lima rukun Islam.
Mengenai istilah atau
sebutan Islam Waktu Telu dan Islam Waktu Lima dipopulerkan oleh orang Belanda
sejak tahun 1894-1897, ketika Dannenberg seorang Kontrolir
Belanda memerintah Lombok. Penyebutan dua golongan itu dipertajam untuk
melaksanakan politik Devide Et
Impera dalam rangka memecah
belah orang sasak yang terjajah. Padahal orang sasak sejati tidak pernah atau
tidak akan pernah menyebut diri penganut Waktu Telu.Cukup dengan Islam saja.
Penyebutan Islam
sebagai jati diri keberagamaan orang sasak telah tertulis dalam lontar sasak
yang memuat falsafah ajaran Islam pada orang sasak yang ternyata tidak terdapat
satupun istilah Waktu Telu ataupun Waktu Lima di
dalamnya. Dua istilah itu tidak ditemui dalam Lontar Jati
Swara, Petung Bayan, Alim Sujiwa, Indrajaya ataupun lontar-lontar
lain yang berisi tentang ajaran Syariat, Tarekat, Hakekat dan Ma’ripat dalam
Islam. Sekalipun Islam sudah masuk ke Pulau Lombok kurang lebih lima abad yang
lalu, namun sampai dengan tahun 1940-an, pengikut Waktu Telu melebihi jumlah
penganut Waktu Lima.
Tetapi secara
perlahan-lahan dan pasti usaha memantapkan keyakinan orang Waktu Telu untuk
menerima dan menghayati ajaran Islam sejati dengan mengamalkan semua rukun
Islam tidak pernah berhenti. Sistem kepercayaan Waktu Telu terus dimurnikan,
sampai pada akhirnya menjelang berakhirnya abad XX, penganut kepercayaan Waktu Telu menjadi golongan
minoritas.
Setelah
peristiwa 1 Oktober 1965, ketika terjadi pembubaran Partai Komunis
Indonesia (PKI), seluruh penganut Waktu Telu secara serempak, bulat-bulat
menyatakan diri kembali menjadi Islam sejati (Islam Waktu Lima). Berbarengan
dengan waktu itu penganut kepercayaan islam Waktu Telu di Bayan yang merupakan
mayoritas penduduk Kecamatan Bayan, termasuk penduduk desa Bayan Beleq, menyatakan
diri menjadi Islam sejati, tetapi kesehariannya tetap melaksanakan sistem
ajaran Waktu Telu, yang dirubah sebutannya menjadi ajaran Wetu Telu.
Penggunaan istilah
Waktu Telu, dimaksudkan sebagai petunjuk bahwa manusia dalam perjalanan
hidupnya senantiasa tunduk dan taat pada 3 (tiga) hukum yaitu : (1) Hukum Agama
(Igama), yang pelaksanaan syariatnya oleh Kyai Penghulu, (2) hukum
/aturan-adat, yang pelaksanaannya dilakukan oleh para pemangku /Mangku (Lokaq
dan Perumbaq), (3) hukum pemerintahan, dilaksanakan oleh Pemekel (Pemusungan
untuk Tingkat Desa dan Keliang untuk Tingkat Gubuk / Kampung / Dasan).
Disamping itu system ajaran Waktu Telu, memberi keyakinan bahwa siklus
kehidupan manusia melalui 3(tiga) tahap, yaitu (1) Metu/Arak (lahir), (2) Idup
(Hidup), (3) Mate (Mati). Jadi asal kelahiran/keberadaan mahluk/ciptaan Tuhan
di dunia ini melalui 3 (tiga) asal/cara yaitu ; (1)Meniok (Tumbuh), (2) Menelok
(Bertelur), (3) Menganak (Melahirkan). Asal tetio’ang berupa tumbuh-tumbuhan,
gasal tetelo’ang berupa mahluk binatang dan burung bertelur dan asal ta anakang
berupa manusia dan binatang menyusui.
Kepercayaan yang
spesifik dari masyarakat Bayan sebagai orang-orang Sasak asli yang
kesehariannya masih menjalankan praktek kepercayaan Waktu Telu, kekentalan
masyarakat dalam melaksanakan adat gama, dalam upacara Maulud adat berdasarkan
kepercayaan Waktu Telu, dapat di jadikan sebagai topik yang sangat menarik
untuk dikaji sebagai bahan pelajaran yang berharga bagi generasi yang akan
datang.
Selain daripada itu
memberikan tujuan atau gambaran tentang masih adanya praktek keagamaan yang
tidak sesuai dengan ajaran agam Islama yang sebenarnya, uapacara mulut adat
selain dilaksanakan di Bayan, diakadakan pula oleh masyarakat asli suku sasak
lainnya yang beragama Islam yang digolongkan waktu lima dalam isi dan bentuk
yang berbeda. Secara hakekat upacara mulud adat di
Bayan yang yang disebut Ngangkat Syareat Mulud berintikan
memperingati perkawinan antara Nabi Adam dan Siti Hawa sebagai cikal bakal
manusia. Selain itu juga memperingati Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upacara di
tempat lain khususnya di kalangan penganut waktu lima, semata-mata memperingati
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal menurut
perhitungan Qamariah atau tahun Hijriah Nabi Untuk
perhitungan adat di bayan, upacara mulut adat jatuh pada tanggal 15 Rabiul Awal
atau 3 hari setelah mulud adat (dalam bahasa Sasaknya Petangan) pada masyarakat waktu lima.
Terdapat lima buah
bangunan tradisional yang sangat berperan dalam upacara Ngangkat Syareat
Mulud di Bayan yaitu ; Masjid Kuno Bayan, Berugak
Beleq, Baleq Bayan , Makam Leluhur dan
Kampu.
Kedudukan kelima
bangunan tradisional tersebut di atas menjadi sangat penting, karena dalam
pelaksanaan “Ngangkat Syareat Mulud” kelima
bangunan tradisional itu termasuk ”kemalik” artinya bangunan yang suci dan
tidak boleh dilecehkan ataupun dikotori secara lahiriah ataupun batiniah. Dalam
kaitan dengan upacara ”Ngangkat Syareat Mulud”
kelima bangunan ini mempunyai fungsi atau kegunaannya yang saling terkait dalam
prosesi upacara. Puncak upacara yang dilakukan di Mesigid (Masjid) tidak
akan dapat dilaksanakan, apabila tidak dilakukan rangkaian acara yang
berlangsung di kampu-kampu kagugan maupun kampu gubuk yang di dalamnya terdapat
Berugaq
Bleq atau Bale Bleq Bayan.
Begitu juga rangkaian
acara di kampu dan di Mesigit (Masjid) tidak mungkin dilaksanakan, apabila
tidak “mengosap” yaitu membersihkan komplek pemakaman leluhur di halaman masjid
tua sekaligus melakukan aacara menginap lekesan dan bejana air (mengolom) di
dalam bale (rumah) makamleluhur selama semalam agar diberkahi dan direstui oleh
arwah para leluhur sesuai kepercayaan mereka.Sebaliknya acara mengosap,mengolom
di pemakaman leluhur, nutu (menumbuk padi), turun gerantung, (mengeluarkan
gamelan adat),saur sesangi (menyerahkan bahan makanan) untuk persiapan atau
hidangan roah untuk membayar kaul, majang (memasang) bebao (langit-langit dan
membungkus tiang berugak beleq), mengantal (menghias praja mulud), meriap
(menyiapkan pesaji mulud berupa ancak (talam anyaman bambu) dan persiapan wadah
janggel (sampak atau talam kayu yang berkait tunggal), tidak akan dilaksanakan
apabila tidak ada upacara puncak “Roah
Syareat Mulud” di dalam
Masjid Kuno Bayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar