Namun, yang terjadi
sekarang ini adalah penjungkirbalikan arah pendidikan. Sekolah hanya mengejar
target nilai Ujian Nasional (UN) sehingga mengesampingkan misi “pemanusiaan
manusia” yang menjadi roh pendidikan itu sendiri. Sekolah hanya bertujuan
meluluskan siswa sehingga menafikan proses pembelajaran. Dampaknya adalah
lahirnya budaya pragmatisme dan serba-instan dalam praktik pendidikan. Karena
tujuan akhir adalah tingginya tingkat kelulusan siswa, maka sekolah lebih
memilih cara-cara yang pragmatis. “Apa pun caranya, yang penting adalah
hasilnya”. Demikianlah motto yang dipegang.
Pada hari-hari menjelang
UN, sekolah menjadi sangat sibuk. Berbagai upaya dilakukan agar siswa siap
menghadapi UN. Mulai dari memberi jam pelajaran tambahan sampai gemblengan
mental-spiritual. Dari sinilah sering muncul titik ironi dalam praktik
pembelajaran di kelas. Taruhlah adanya pelajaran tambahan. Kegiatan ini justru
sering membebani siswa dengan tugas-tugas yang amat melelahkan, karena hampir
100% kegiatan ini digunakan untuk drill soal saja. Kelas tak lebih dari tempat
bimbingan belajar atau kursus tentang kiat-kiat mengerjakan soal. Serba kilat,
serba smart. Padahal, pendidikan itu merupakan proses yang membutuhkan waktu.
Dan, dalam pandangan Contextual Teaching and Learning (CTL), setiap individu
adalah unik. Setiap individu memiliki “bakat” masing-masing dalam belajar.
Belajar juga
mensyaratkan adanya pembiasaan dan kesinambungan. Belajar merupakan sebuah
rutinitas, yang mestinya dilakukan oleh setiap individu secara teratur.
Tidaklah bijaksana apabila belajar dilakukan secara instan. Memaksa siswa kelas
IX atau kelas XII untuk menguasai materi dalam waktu yang singkat, sama sekali
tidak ada gunanya. Sebab setelah ujian semua materi pembelajaran itu akan
hilang begitu saja tanpa bekas
Yang paling menggelikan adalah maraknya pendekatan spiritual dalam menghadapi UN.
Yang paling menggelikan adalah maraknya pendekatan spiritual dalam menghadapi UN.
Doa-doa dipanjatkan agar
setiap siswa diberi “jalan yang terang” agar bisa mengerjakan soal UN dengan
benar. Bahwa manusia harus beribadah kepada Sang Khalik itu memang sudah layak
dan sepantasnya. Tetapi, maraknya kegiatan ibadah hanya pada saat menghadapi
UN, justru kontra-produktif dengan hakikat pendidikan agama. Seolah kita baru
ingat kepada Tuhan hanya pada saat Ia kita butuhkan saja.
Akhirnya, menjadi PR
bagi kita untuk merenungkan sekali lagi tujuan dan hakikat pendidikan. Menjadi
tugas bagi kita untuk mengembalikan “roh” pendidikan yang selama ini
terabaikan. UN boleh saja diadakan, tetapi bukan sebagai satu-satunya penentu
kelulusan siswa. UN mestinya dilakukan dengan tujuan untuk memetakan mutu
pendidikan dan kualitas setiap sekolah. Bahkan bila perlu jangan hanya mata
pelajaran tertentu saja yang di-UN-kan, tetapi semua mata pelajaran !
Lalu, kepada siapa kita
bisa berharap untuk membenahi semua ini..? Yang pertama tentunya kepada guru
yang menjadi ujung tombak dalam pendidikan. Namun, selama ini guru hanya
menjadi robot yang penurut. Guru adalah prajurit patuh yang siap berperang
tetapi tidak tahu untuk apa perang itu !
bagus mas gan, klik disini ya http://muliaberbagi.blogspot.com
BalasHapus