Selasa, 19 Februari 2013

Sekilas Tentang Maulid Adat Bayan

Oleh Raden Jambianom : Komunitas masayarat adat Bayan merupakan Suku Sasak yang bermukim di wilayah Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara Propinsi Nusa Tenggara Barat. Komunitas masyarakat ini sudah sejak lama dikenal sebagai penganut atau kepercayaan dan adat Waktu Telu yang dipertentangkan dengan kepercayaan dan adat waktu lima, Wakt Telu adalah komunitas orang-orang sasak penduduk asli Pulau Lombok, yang meskipun mereka mengaku sebagai muslim, tetapi masih sangat percaya terhadap Ketuhanan Animistik para leluhur maupun terhadap benda-benda antropomoris atau benda yang diangap bernyawa.

Kepercayaan waktu telu bukanlah suatu agama, melainkan hanya sebuah kepercayaan yang terwujud dalam berbagai pelaksanaan adat, baik adat gama maupun adat luar gama. Penganut kepercayaan waktu telu hampir sama dengan pemeluk Islam abangan yang di dalam ajarannya telah terjadi singkretisme sebagai akibat dari pengaruh berbagai macam ajaran agama dan kepercayaan. Mereka mempercayai Islam akan tetapi mengikuti juga ajaran dan kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme. Sedangkan Islam Waktu Lima tidaklah seluruhnya seperti Islam sendiri, tetapi pelaksanaan syariat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan dalam lima rukun Islam.

Mengenai istilah atau sebutan Islam Waktu Telu dan Islam Waktu Lima dipopulerkan oleh orang Belanda sejak tahun 1894-1897, ketika Dannenberg seorang Kontrolir Belanda memerintah Lombok. Penyebutan dua golongan itu dipertajam untuk melaksanakan politik Devide Et Impera dalam rangka memecah belah orang sasak yang terjajah. Padahal orang sasak sejati tidak pernah atau tidak akan pernah menyebut diri penganut Waktu Telu.Cukup dengan Islam saja.

Penyebutan Islam sebagai jati diri keberagamaan orang sasak telah tertulis dalam lontar sasak yang memuat falsafah ajaran Islam pada orang sasak yang ternyata tidak terdapat satupun istilah Waktu Telu ataupun Waktu Lima di dalamnya. Dua istilah itu tidak ditemui dalam Lontar Jati Swara, Petung Bayan, Alim Sujiwa, Indrajaya ataupun lontar-lontar lain yang berisi tentang ajaran Syariat, Tarekat, Hakekat dan Ma’ripat dalam Islam. Sekalipun Islam sudah masuk ke Pulau Lombok kurang lebih lima abad yang lalu, namun sampai dengan tahun 1940-an, pengikut Waktu Telu melebihi jumlah penganut Waktu Lima.

Tetapi secara perlahan-lahan dan pasti usaha memantapkan keyakinan orang Waktu Telu untuk menerima dan menghayati ajaran Islam sejati dengan mengamalkan semua rukun Islam tidak pernah berhenti. Sistem kepercayaan Waktu Telu terus dimurnikan, sampai pada akhirnya menjelang berakhirnya abad XX, penganut  kepercayaan Waktu Telu menjadi golongan minoritas.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, ketika terjadi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), seluruh penganut Waktu Telu secara serempak, bulat-bulat menyatakan diri kembali menjadi Islam sejati (Islam Waktu Lima). Berbarengan dengan waktu itu penganut kepercayaan islam Waktu Telu di Bayan yang merupakan mayoritas penduduk Kecamatan Bayan, termasuk penduduk desa Bayan Beleq, menyatakan diri menjadi Islam sejati, tetapi kesehariannya tetap melaksanakan sistem ajaran Waktu Telu, yang dirubah sebutannya menjadi ajaran Wetu Telu.

Penggunaan istilah Waktu Telu, dimaksudkan sebagai petunjuk bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa tunduk dan taat pada 3 (tiga) hukum yaitu : (1) Hukum Agama (Igama), yang pelaksanaan syariatnya oleh Kyai Penghulu, (2) hukum /aturan-adat, yang pelaksanaannya dilakukan oleh para pemangku /Mangku (Lokaq dan Perumbaq), (3) hukum pemerintahan, dilaksanakan oleh Pemekel (Pemusungan untuk Tingkat Desa dan Keliang untuk Tingkat Gubuk / Kampung / Dasan). Disamping itu system ajaran Waktu Telu, memberi keyakinan bahwa siklus kehidupan manusia melalui 3(tiga) tahap, yaitu (1) Metu/Arak (lahir), (2) Idup (Hidup), (3) Mate (Mati). Jadi asal kelahiran/keberadaan mahluk/ciptaan Tuhan di dunia ini melalui 3 (tiga) asal/cara yaitu ; (1)Meniok (Tumbuh), (2) Menelok (Bertelur), (3) Menganak (Melahirkan). Asal tetio’ang berupa tumbuh-tumbuhan, gasal tetelo’ang berupa mahluk binatang dan burung bertelur dan asal ta anakang berupa manusia dan binatang menyusui.

Kepercayaan yang spesifik dari masyarakat Bayan sebagai orang-orang Sasak asli yang kesehariannya masih menjalankan praktek kepercayaan Waktu Telu, kekentalan masyarakat dalam melaksanakan adat gama, dalam upacara Maulud adat berdasarkan kepercayaan Waktu Telu, dapat di jadikan sebagai topik yang sangat menarik untuk dikaji sebagai bahan pelajaran yang berharga bagi generasi yang akan datang.

Selain daripada itu memberikan tujuan atau gambaran tentang masih adanya praktek keagamaan yang tidak sesuai dengan ajaran agam Islama yang sebenarnya, uapacara mulut adat selain dilaksanakan di Bayan, diakadakan pula oleh masyarakat asli suku sasak lainnya yang beragama Islam yang digolongkan waktu lima dalam isi dan bentuk yang berbeda. Secara hakekat upacara mulud adat di Bayan yang yang disebut Ngangkat Syareat Mulud berintikan memperingati perkawinan antara Nabi Adam dan Siti Hawa sebagai cikal bakal manusia. Selain itu juga memperingati Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upacara di tempat lain khususnya di kalangan penganut waktu lima, semata-mata memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal menurut perhitungan Qamariah atau tahun Hijriah Nabi Untuk perhitungan adat di bayan, upacara mulut adat jatuh pada tanggal 15 Rabiul Awal atau 3 hari setelah mulud adat (dalam bahasa Sasaknya Petangan) pada masyarakat waktu lima.

Terdapat lima buah bangunan tradisional yang sangat berperan dalam upacara Ngangkat Syareat Mulud di Bayan yaitu ; Masjid Kuno Bayan, Berugak Beleq, Baleq  Bayan , Makam Leluhur dan Kampu.

Kedudukan kelima bangunan tradisional tersebut di atas menjadi sangat penting, karena dalam pelaksanaan “Ngangkat Syareat Mulud” kelima bangunan tradisional itu termasuk ”kemalik” artinya bangunan yang suci dan tidak boleh dilecehkan ataupun dikotori secara lahiriah ataupun batiniah. Dalam kaitan dengan upacara ”Ngangkat Syareat Mulud” kelima bangunan ini mempunyai fungsi atau kegunaannya yang saling terkait dalam prosesi upacara. Puncak upacara yang dilakukan di Mesigid (Masjid) tidak akan dapat dilaksanakan, apabila tidak dilakukan rangkaian acara yang berlangsung di kampu-kampu kagugan maupun kampu gubuk yang di dalamnya terdapat Berugaq Bleq atau Bale Bleq Bayan.













Begitu juga rangkaian acara di kampu dan di Mesigit (Masjid) tidak mungkin dilaksanakan, apabila tidak “mengosap” yaitu membersihkan komplek pemakaman leluhur di halaman masjid tua sekaligus melakukan aacara menginap lekesan dan bejana air (mengolom) di dalam bale (rumah) makamleluhur selama semalam agar diberkahi dan direstui oleh arwah para leluhur sesuai kepercayaan mereka.Sebaliknya acara mengosap,mengolom di pemakaman leluhur, nutu (menumbuk padi), turun gerantung, (mengeluarkan gamelan adat),saur sesangi (menyerahkan bahan makanan) untuk persiapan atau hidangan roah untuk membayar kaul, majang (memasang) bebao (langit-langit dan membungkus tiang berugak beleq), mengantal (menghias praja mulud), meriap (menyiapkan pesaji mulud berupa ancak (talam anyaman bambu) dan persiapan wadah janggel (sampak atau talam kayu yang berkait tunggal), tidak akan dilaksanakan apabila tidak ada upacara puncak Roah Syareat Mulud” di dalam Masjid Kuno Bayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar