Rabu, 20 Februari 2013

Memanusiakan Manusia Dengan Pendidikan

Adlan Mamnun : Driyarkara menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah “memanusiakan manusia”. Artinya, lewat pendidikan itu setiap peserta didik digembleng agar dapat menjadi “manusia”. Dan Plato bilang bahwa manusia adalah “binatang yang berakal budi’. Manusia dapat menjadi “manusia” kalau ia mempunyai akal dan mempunyai budi. Filosofi ini berkembang pada abad ke-21 dengan rumusan tentang multi-kecerdasan yang mesti dimiliki oleh seorang manusia, yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Roh utama pendidikan adalah membangun individu yang cerdas, terampil, dan berbudi pekerti luhur.


Namun, yang terjadi sekarang ini adalah penjungkirbalikan arah pendidikan. Sekolah hanya mengejar target nilai Ujian Nasional (UN) sehingga mengesampingkan misi “pemanusiaan manusia” yang menjadi roh pendidikan itu sendiri. Sekolah hanya bertujuan meluluskan siswa sehingga menafikan proses pembelajaran. Dampaknya adalah lahirnya budaya pragmatisme dan serba-instan dalam praktik pendidikan. Karena tujuan akhir adalah tingginya tingkat kelulusan siswa, maka sekolah lebih memilih cara-cara yang pragmatis. “Apa pun caranya, yang penting adalah hasilnya”. Demikianlah motto yang dipegang.

Pada hari-hari menjelang UN, sekolah menjadi sangat sibuk. Berbagai upaya dilakukan agar siswa siap menghadapi UN. Mulai dari memberi jam pelajaran tambahan sampai gemblengan mental-spiritual. Dari sinilah sering muncul titik ironi dalam praktik pembelajaran di kelas. Taruhlah adanya pelajaran tambahan. Kegiatan ini justru sering membebani siswa dengan tugas-tugas yang amat melelahkan, karena hampir 100% kegiatan ini digunakan untuk drill soal saja. Kelas tak lebih dari tempat bimbingan belajar atau kursus tentang kiat-kiat mengerjakan soal. Serba kilat, serba smart. Padahal, pendidikan itu merupakan proses yang membutuhkan waktu. Dan, dalam pandangan Contextual Teaching and Learning (CTL), setiap individu adalah unik. Setiap individu memiliki “bakat” masing-masing dalam belajar.

Belajar juga mensyaratkan adanya pembiasaan dan kesinambungan. Belajar merupakan sebuah rutinitas, yang mestinya dilakukan oleh setiap individu secara teratur. Tidaklah bijaksana apabila belajar dilakukan secara instan. Memaksa siswa kelas IX atau kelas XII untuk menguasai materi dalam waktu yang singkat, sama sekali tidak ada gunanya. Sebab setelah ujian semua materi pembelajaran itu akan hilang begitu saja tanpa bekas
Yang paling menggelikan adalah maraknya pendekatan spiritual dalam menghadapi UN.

Doa-doa dipanjatkan agar setiap siswa diberi “jalan yang terang” agar bisa mengerjakan soal UN dengan benar. Bahwa manusia harus beribadah kepada Sang Khalik itu memang sudah layak dan sepantasnya. Tetapi, maraknya kegiatan ibadah hanya pada saat menghadapi UN, justru kontra-produktif dengan hakikat pendidikan agama. Seolah kita baru ingat kepada Tuhan hanya pada saat Ia kita butuhkan saja.

Akhirnya, menjadi PR bagi kita untuk merenungkan sekali lagi tujuan dan hakikat pendidikan. Menjadi tugas bagi kita untuk mengembalikan “roh” pendidikan yang selama ini terabaikan. UN boleh saja diadakan, tetapi bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. UN mestinya dilakukan dengan tujuan untuk memetakan mutu pendidikan dan kualitas setiap sekolah. Bahkan bila perlu jangan hanya mata pelajaran tertentu saja yang di-UN-kan, tetapi semua mata pelajaran !

Lalu, kepada siapa kita bisa berharap untuk membenahi semua ini..? Yang pertama tentunya kepada guru yang menjadi ujung tombak dalam pendidikan. Namun, selama ini guru hanya menjadi robot yang penurut. Guru adalah prajurit patuh yang siap berperang tetapi tidak tahu untuk apa perang itu !

1 komentar:

  1. bagus mas gan, klik disini ya http://muliaberbagi.blogspot.com

    BalasHapus